REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang menggunakan nilai rapor sebagai salah satu penentu kelulusan sekolah dinilai salah. Pasalnya, kebijakan itu sangat rentan akan manipulasi nilai dan mendiskriminasi sekolah lainnya.
Pernyataan itu dijabarkan oleh Pengamat Pendidikan, Doni Koesoema Albertus. "Apalagi dengan kuota yang disiapkan sebanyak 50 persen. Tentunya, hal itu akan semakin membuka potensi untuk melakukan manipulasi nilai yang dilakukan oleh sekolah dan siswa yang tidak mengetahuinya," ujar Doni, Selasa (10/2).
Mengingat, banyak sekolah yang menginginkan para siswanya diterima dan berhasil masuk ke perguruan tinggi. Dan, nantinya akan memberikan keuntungan tersendiri untuk sekolah yaitu semakin bagusnya nama sekolah itu.
Namun, menurutnya, hal itu justru yang merusak pendidikan di Indonesia, meraih hasil yang baik dengan cara yang tidak mengutamakan kejujuran. Bahkan, yang lebih mengerikan adalah tidak sedikit sekolah yang lupa bahwa langkah itu merupakan tindakan kriminal.
"Sudah sepatutnya yang bertindak kriminal harus mendapatkan hukuman dan konsekuensi yang sesuai. Tapi, dalam hal ini siswa tidak bisa disalahkan dan bukan siswa yang salah, melainkan sekolah yang melakukan tindakan kriminal melalui manipulasi nilai siswanya."
Ia mengungkapkan, malah banyak dari sekolah negeri yang melakukan manipulasi nilai itu untuk mendongkrak reputasi sekolahnya di perguruan tinggi (PT). Sedangkan, sekolah swasta yang jujur justru kecil kesempatannya untuk lulus SNMPTN dan hal itu sangat diskriminasi.
"Maka dari itu, kami menyarankan kepada pemerintah agar kuota itu dibuat menjadi lima persen saja. Dan, proses seleksi dibuat lebih ketat, objektif dan sungguh-sungguh, sedangkan sisa kuotanya diberlakukan untuk ujian tertulis," paparnya.