REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Kompartemen Perbukuan Pimpinan Pusat Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Dharma Hutauruk mengungkapkan, RUU perbukuan bisa jadi merugikan dan memotivasi.
Dharma mengatakan, dalam RUU perbukuan sebelumnya menyebutkan bahwa buku harus dapat dibuat dalam kurun waktu beberapa bulan. Padahal, dari pengalaman para penulis buku mata pelajaran, untuk menuliskan satu buku mata pelajaran saja dibutuhkan kurun waktu satu tahun. Guna memastikan, apakah buku yang ditulis itu dapat dipahami oleh peserta didik dengan baik.
"Selain itu, juga berfokus pada cost pada bukunya, bukan mutu buku itu sendiri. Bayangkan saja, tambah ia, dalam peraturan itu hanya melihat perbandingan cost buku dengan buku yang lainnya. Tapi, tidak melihat dari kualitas dan pengahargaan bagi penulisnya.," kata dia.
Sedangkan, motivasinya akan membuat sistem dan tata kelola perbukan menjadi lebih tertib dan teratur. Sehingga, ada kejelasan terkait peraturan penerbitan buku.
Ia menambahkan, tim penyeleksi yang disebutkan akan diperbaiki itu juga harus jelas, siapa dan bagaimana penyeleksian tim itu. Jangan sampai, hanya memanfaatkan anggaran yang diberikan. Tapi, tidak berkompetensi dalam melakukan penyeleksian dan memberikan penilaian terhadap buku itu.
"Mengingat, dalam satu tahun saja ada sekitar 25 ribu yang terbit, lalu berapa banyak anggaran yang harus dikeluarkan. Ditambah dengan, berapa lama waktu yang dibutuhkan itu," jelasnya, kepada ROL, Selasa (31/3).
Namun, ia menyetujui, adanya sertifikat kelayakan buku untuk anak-anak dan masyarakat Indonesia. Sehingga, peredaran buku dapat dengan mudah diawasi.
Oleh karenanya, pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat harus matang membahas RUU Sistem Perbukuan ini. Jangan sampai, mengurangi minat baca karena, UU hanya mendorong membaca buku mata pelajaran saja.
Poin penting lainnya, jangan merugikan pihak lainnya, mengingat masalah perbukuan tidak hanya menyangkut satu pihak saja. Tapi, banyak pihak baik, dari siswa, sekolah, percetakan, penerbit hingga toko buku.