REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat Pendidikan dari Universtas Paramadina, Andreas Tambah mengakui banyak kasus jual-beli ijazah yang terjadi di Indonesia. Menurutnya, situasi ini merupakan tanda adanya keburaman pendidikan terutama Perguruan-perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia.
“Hal itu banyak terjadi pada PTS-PTS yang ‘buram’ di Indonesia,” jelas Andreas saat dihubungi Republika, Selasa (19/5).
Menurut Andreas, salah satu masalah utama ijazah ‘palsu’ itu berasal dari PTS yang tidak jelas. Maksudnya, semua itu kebanyakan terjadi pada PTS-PTS yang tidak jelas keberadaannya. Misal, lanjutnya, PTS-PTS yang membuka kelas di lokasi yang jauh.
“Biasanya terjadi pada PTS-PTS tersembunyi,” ungkap Andreas.
Andreas juga mengakui sudah ada peraturan yang meminta seluruh perguruan tinggi untuk tidak melakukan praktik jual-beli ijazah. Hanya saja, kata dia, peraturan ini sepertinya belum terealisasikan dengan baik dalam kehidupan.
Andreas meminta agar pemerintah bisa melakukan tindakan yang lebih tegas lagi kepada pihak-pihak terkait. Selain itu, lanjutnya, kontrol atau pengawasan pemerintah juga harus diperkuat kembali ke depannya.
Sebelumnya, ijazah palsu yang dikeluarkan sejumlah Perguruan Tinggi (PT) di tanah air, banyak beredar secara luas di masyarakat. Selain itu, pemilik sertifikat tersebut juga diakui tidak pernah terdaftar sebagai mahasiswa.
Hal tersebut dikatakan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti), Muhammad Nasir kepada wartawan, Senin (18/5), usai mengadakan pertemuan dengan dosen di Universitas Negeri Medan.
Ijazah yang dikeluarkan sejumlah PT, menurut dia, memang diakui ada, tapi pemiliknya yang tidak benar atau ilegal. "Sebab, ijazah yang diterbitkan tersebut benar-benar asli, tapi si pemegang dokumen penting itu dinggap palsu," ujar Nasir.