REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sebanyak 250 mahasiswa pascasarjana di lingkungan Universitas Krisnadwipayana (Unkris) dan beberapa mahasiswa pascasarjana dari berbagai perguruan tinggi swasta (PTS) dan perguruan tinggi negeri (PTN) di Jakarta mengikuti seminar yang bertemakan “Innovation Management and Social Laws: Reflexive Learning Experience from Korea and Indonesia for Future Sustainable Development”. Seminar yang digelar Krisnadwipayana Graduate School of Government Management and Innovation itu menghadirkan dua pembicara dari Korea dan Indonesia.
Pembicara dari Korea adalah Prof Sang-Chul Park yang kini menjadi professor di University of Gothenburg, Swedia. Sedangkan pembicara kedua Dr Abdullah Sumrahadi dari Indonesia yang juga dosen di Universiti Utara Malaysia. Dalam seminar yang dibuka oleh Rektor Unkris Dr Abdul Rivai pada Sabtu (30/5) itu, kedua pembicara menyampaikan pesan yang jelas, bahwa kunci untuk memajukan negara bangsa ialah melalui inovasi dan inovasi yang berkelanjutan. Selain itu, fungsi nilai-nilai budaya sebagai common culture perlu disemai secara teknis agar dapat bertransformasi menjadi energi perubahan.
Prof Sang-Chul mencontohkan bahwa pemerintahnya menekankan ajaran budaya konfusianisme dalam mentransformasi mental pembangunan. Hal ini diturunkan kepada good governance dan politik yang beradab. "Dan lebih jauh pemerintah memberikan penekanan pada pentingnya mengambil contoh untuk dikomersialisasikan brand-brand local menjadi global seperti LG, Samsung, Hyundai, K-Pop, dan sebagainya," kata Prof Sang-Clul dalam keterangan tertulis yang diterima Republika Online, Selasa (2/6).
Sementara catatan pada sisi Indonesia lebih menantang, selain masyarakat lahir dari budaya yang mejemuk. Menurut Dr Sumrahadi, kultur politik yang terbangun masih bersifat patron-client dan terbungkus rapi melalui partai politik. "Meskipun telah dihadirkan undang-undang dan peraturan pemerintah terkait dengan manajemen dan inovasi yang mendukung pembangunan, tantangan social distrust menjadi hambatan tertinggi," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, praktik good governance belum menjadi praktik optimal dalam menata aparatur pemerintah yang seharusnya mendukung pelaksanaan inovasi sosial hingga teknologi. "Universitas dan swasta tidak secara serius dilibatkan, masing-masing lembaga berjalan sendir-sendiri dan tidak bersinergi secara berkesinambungan," ungkapnya.