REPUBLIKA.CO.ID, PERTH -- Penelitian tentang arsip dan sejarah masa jajahan Belanda untuk kawasan Asia Tenggara akan dipusatkan di Indonesia, tepatnya di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Upaya itu dilakukan untuk mendekatkan peneliti dengan arsip komunikasi, yang sebagian besar disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta.
"Pada saat ini, penelitian arsip jajahan Belanda dipusatkan di Universitas Leiden. Tercatat 120 mahasiswa dari berbagai negara di Asia meneliti sejarah Belanda, dan separuh dari mahasiswa itu adalah orang Indonesia," kata Profesor Charles Jeurgens, di Perth, Rabu (22/7).
Dia menambahkan mempertimbangkan penelitian mulai 2017 dipusatkan di UGM, dengan beberapa universitas lain di Indonesia, seperti Universitas Indonesia (UI) menjadi penyangga. Menurutnya rencana itu masih terkendala pendanaan.
Program akan mewajibkan mahasiswa belajar bahasa Belanda selama satu tahun sebab mayoritas arsip sejarah ditulis dalam bahasa Belanda.
"Arsip tentang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) paling banyak disimpan di Indonesia. Sekitar 2,4 kilometer panjang raknya bila disusun secara memanjang. Di Belanda koleksinya sekitar 1,4 kilometer," kata pria yang membahas penelitiannya di hadapan para peneliti di Universitas Australia Barat (UWA) itu.
Sementara itu, arsip terkait pemerintahan kolonial Belanda tersebar di berbagai negara. Indonesia menyimpan jumlah terbanyak, yaitu sekitar delapan-sembilan kilometer rak berisi dokumen. Arsip juga tersimpan di Belanda, Sri Lanka, Afrika Selatan, India, Inggris dan sedikit di Malaysia.
Di Leiden, Charles bekerja bersama beberapa mahasiswa meneliti pola transfer informasi di era kolonial dari Indonesia ke pejabat tertinggi di Belanda. Mulai dari kepala desa, wedana, gubernur jenderal, hingga Menteri Koloni di Amsterdam.
Sejarah menunjukkan Menteri Koloni di Belanda kadang membaca informasi penting tentang Indonesia lewat koran, lebih cepat daripada informasi dari Gubernur Jenderal.
"Menteri marah bila informasi itu justru didapatkan dari koran, dan mereka melakukan perubahan skema pengiriman informasi. Gubernur Jenderal diwajibkan mengirim laporkan tiap dua pekan sekali, tentang apa saja terutama berita yang berpotensi penting tentang Indonesia," kata dia.
Jeurgens yang memulai risetnya sejak 10 tahun silam mengatakan ia meneliti tentang bagaimana dokumen itu terhubung satu sama lain, dan memahami konteksnya bukan muatannya.