Senin 27 Jul 2015 16:15 WIB

Membongkar Budaya Usang Sekolah

Red: Agung Sasongko
Asep Sapaat bersama komunitas belajar
Asep Sapaat bersama komunitas belajar

Oleh:  Asep Sapa’at, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Karakter Guru di Character Building Indonesia

 

REPUBLIKA.CO.ID,  BOGOR -- Masa liburan telah usai. Nadi kehidupan sekolah kembali berdenyut di tahun ajaran 2015/2016. Permendikbud No. 55 tahun 2014 telah memberikan informasi sekaligus arahan terkait aktivitas apa yang musti dihelat di awal tahun ajaran baru ini. Isi Permendikbud itu, di antaranya: 1) setiap sekolah menyelenggarakan MOPD pada jam belajar di minggu pertama sekolah maksimal selama lima hari; 2) sekolah dilarang menyelenggarakan MOPD yang mengarah kepada tindak kekerasan, pelecehan, dan/atau tindakan destruktif lainnya yang merugikan peserta didik secara fisik maupun psikologis, baik di dalam maupun di luar sekolah; 3) sekolah dilarang memungut biaya dan membebani orangtua dan peserta didik dalam bentuk apapun; 4) kepala sekolah dan guru bertanggung jawab dan wajib melaksanakan ketentuan dalam Permendikbud ini; 5) kepala sekolah dan guru yang membiarkan terjadinya pelanggaran ketentuan dapat dikenai sanksi; 6) Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota mengendalikan MOPD menjadi kegiatan bermanfaat dan tidak destruktif.

Kita patut khawatir jika mencermati pemikiran Lortie (1975) yang menyatakan, kultur sekolah lebih mendukung terbentuknya sikap konservatif daripada inovatif. Sikap ini muncul karena dalam kinerjanya, sekolah gagal memotret diri lewat aktivitas evaluasi. Sekolah tidak dapat mengevaluasi apakah tujuan pendidikan yang sedang diperjuangkan telah tercapai atau belum. Dalam konteks ini, jika sekolah giat mengevaluasi agenda MOPD dari tahun ke tahun, besar kemungkinan sekolah bisa mengembangkan beragam inovasi sebagai sarana membangun budaya sekolah unggul. Berbeda dengan sekolah yang setia pada status quo. Aktivitas MOPD bersifat rutin belaka. Maka, hal ini bisa jadi jawaban mengapa kasus kekerasan saat MOPD tak pernah hilang, misalnya. Apalagi kalau bicara soal revolusi mental di sekolah, nol besar. Tak ada perbaikan karena enggan berubah menjadi lebih baik.