Oleh: Asep Sapa’at, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Karakter Guru di Character Building Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Masa liburan telah usai. Nadi kehidupan sekolah kembali berdenyut di tahun ajaran 2015/2016. Permendikbud No. 55 tahun 2014 telah memberikan informasi sekaligus arahan terkait aktivitas apa yang musti dihelat di awal tahun ajaran baru ini. Isi Permendikbud itu, di antaranya: 1) setiap sekolah menyelenggarakan MOPD pada jam belajar di minggu pertama sekolah maksimal selama lima hari; 2) sekolah dilarang menyelenggarakan MOPD yang mengarah kepada tindak kekerasan, pelecehan, dan/atau tindakan destruktif lainnya yang merugikan peserta didik secara fisik maupun psikologis, baik di dalam maupun di luar sekolah; 3) sekolah dilarang memungut biaya dan membebani orangtua dan peserta didik dalam bentuk apapun; 4) kepala sekolah dan guru bertanggung jawab dan wajib melaksanakan ketentuan dalam Permendikbud ini; 5) kepala sekolah dan guru yang membiarkan terjadinya pelanggaran ketentuan dapat dikenai sanksi; 6) Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota mengendalikan MOPD menjadi kegiatan bermanfaat dan tidak destruktif.
Kita patut khawatir jika mencermati pemikiran Lortie (1975) yang menyatakan, kultur sekolah lebih mendukung terbentuknya sikap konservatif daripada inovatif. Sikap ini muncul karena dalam kinerjanya, sekolah gagal memotret diri lewat aktivitas evaluasi. Sekolah tidak dapat mengevaluasi apakah tujuan pendidikan yang sedang diperjuangkan telah tercapai atau belum. Dalam konteks ini, jika sekolah giat mengevaluasi agenda MOPD dari tahun ke tahun, besar kemungkinan sekolah bisa mengembangkan beragam inovasi sebagai sarana membangun budaya sekolah unggul. Berbeda dengan sekolah yang setia pada status quo. Aktivitas MOPD bersifat rutin belaka. Maka, hal ini bisa jadi jawaban mengapa kasus kekerasan saat MOPD tak pernah hilang, misalnya. Apalagi kalau bicara soal revolusi mental di sekolah, nol besar. Tak ada perbaikan karena enggan berubah menjadi lebih baik.
Masih merujuk pada Permendikbud No. 55 tahun 2014, tujuan MOPD sendiri adalah: 1) mengenalkan program sekolah; 2) mengenalkan lingkungan sekolah; 3) mengenalkan cara belajar; 4) penanaman konsep pengenalan diri; 5) pembinaan awal terbentuknya budaya sekolah yang menunjang proses pembelajaran. Tujuan ini masih bersifat global dan abstrak. Kepala sekolah musti memiliki indikator yang jelas dan standar penilaian untuk mengukur apakah program MOPD ini berhasil atau gagal. Persoalan penting ini kerap diabaikan. Indikator keberhasilan MOPD tak terukur, berarti tingkat keberhasilan MOPD tak dapat dievaluasi. Tak ada evaluasi MOPD tanda sekolah terjebak dalam tradisi usang. Sikap membenarkan kebiasaan lebih menonjol ketimbang membiasakan yang benar. Jika hal ini terjadi, kuat dugaan kita, potret MOPD bakal miskin variasi kegiatan, inovasi pengelolaan, tak terdesain sistematis, tak punya standar metode evaluasi dan berjalan tanpa ‘ruh’.
MOPD sebenarnya bisa dijadikan momentum untuk membangun budaya sekolah sekolah. Bukan sekadar menyambut warga baru (murid & orangtua). MOPD merupakan ajang untuk menyemai nilai-nilai yang diyakini dan diperjuangkan sekolah kepada warga baru. Pada akhirnya, kehadiran warga baru menjadi aset berharga untuk memperkuat nilai-nilai hidup yang mewujud dalam bentuk budaya sekolah.
Budaya sekolah adalah hasil penggabungan perilaku orang-orang yang terlibat dalam sekolah tersebut. Budaya bukanlah pernyataan visi, misi, strategi sekolah yang dipajang di dinding atau dicetak pada selembar kertas. Budaya sekolah bukanlah daftar nilai-nilai sekolah yang tertera di sudut-sudut ruang sekolah. Budaya sekolah tercermin dalam konsistensi cara berpikir dan berperilaku kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, murid, orangtua, serta masyarakat sekitar sekolah. Budaya dapat dilihat, didengar, dan dirasakan. Semua itu akumulasi dari refleksi apa yang sudah, sedang, dan akan terus dilakukan sepanjang sekolah itu berdiri. Apa yang dipikirkan sesuai dengan apa yang dikerjakan. Apa yang dikerjakan selalu punya relevansi dengan pengalaman masa lalu sekolah. Jika yang sudah dikerjakan buruk, maka diperbaiki. Jika yang dikerjakan baik, maka diperkuat dan terus dikembangkan.
Stephen R. Covey dalam bukunya The Leader in Me (PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009) mengisahkan pengalaman A. B. Combs sebagai salah satu sekolah yang menerapkan prinsip 7 kebiasaan dalam desain pengembangan budaya sekolah mereka. A. B. Combs menganggap budaya sebagai sesuatu yang serius sehingga mereka mencurahkan minggu pertama dalam setiap tahun ajaran untuk bekerja dengan murid untuk menciptakan budaya atau mencipta ulang. Mengapa di minggu pertama? Ini bicara soal filosofi hukum panen. Kita hanya akan menuai benih yang kita tanam. Jadi, kita mesti berhati-hati menanam benih yang tepat dari awal. Pastikan pula kita mempersiapkan tanah dan menanam benihnya dengan tepat.
Di sekolah A. B. Combs, minggu pertama tidak mengajarkan mata pelajaran. Mereka fokus meninjau prinsip 7 kebiasaan dan menulis pernyataan misi kelas. Mereka bicara tentang tanggung jawab. Mereka menciptakan target pribadi dan kelas serta mengumpulkan data buku catatan mereka. Mereka menyuruh murid menulis tata tertib kerja sama kelas, perilaku apa yang dapat dan tidak dapat diterima (expected behavior). Ada standar moral etika yang jelas yang merujuk pada daftar perilaku yang diharapkan muncul dari murid-murid. Itu berarti, seluruh warga sekolah selain murid, dituntut memiliki kesadaran dan pemahaman sama untuk komitmen dan konsisten menunjukkan perilaku yang diharapkan sesuai standar moral etika yang ditetapkan sekolah.
Menarik apa yang diutarakan Paula Everett, salah satu guru di A. B. Combs, “Kami menghabiskan minggu pertama di sekolah hanya mengajari anak-anak bahwa mereka akan menjadi pemimpin di sekolah ini”. Mungkin aneh bagi kita menghabiskan seminggu penuh menciptakan budaya. Tetapi bagi A.B. Combs hal ini bukan sesuatu yang berlebihan. Mereka ingin memastikan para murid saling mengenal dan merasa ‘nyambung’, baik bagi murid baru maupun lama. Rasa pertalian di antara murid adalah hal yang mencegah dan menghilangkan banyak masalah disiplin sebelum dimulainya tahun ajaran baru.
Pengalaman terbaik A. B. Combs dalam merancang aktivitas sekolah di awal tahun ajaran baru menemui konteksnya dengan sambutan Mendikbud dalam upacara bendera hari pertama sekolah yang diedarkan ke publik. Pesan Pak Menteri Anies untuk anak-anak Indonesia, “Belajarlah dengan kesungguhan. Tuntaskanlah setiap pelajaran, terlibatlah dalam kegiatan-kegiatan di sekolah, berlatihlah untuk bisa memimpin dan dipimpin”. Pastikan pesan ini bisa diartikulasikan dan diaplikasikan dalam beragam program sekolah yang bagus dan bermanfaat.
Anak-anak butuh ruang berperistiwa untuk menjadi pemimpin. Sekolah adalah salah satu ruang berperistiwa menempa jiwa kepemimpinan anak-anak Indonesia. Budaya sekolah yang unggul kelak menjadi katalis proses penumbuhan para pemimpin yang berbudi pekerti luhur. Dengan demikian, sekolah harus membongkar tradisi usang yang merusak proses tumbuh kembang anak, seperti memberikan toleransi atas terjadinya kekerasan di sekolah, membiarkan murid mencontek, mengorupsi dana bantuan operasional sekolah, membiarkan guru yang tak disiplin masuk kelas, terlibat praktik suap-menyuap dalam proses penerimaan peserta didik baru, menutup diri dari kritik dan masukan dari publik, dan tindakan buruk lain yang sudah terbukti kerusakannya berdampak sistemik dan berkelanjutan. Sekolah harus berani berubah dan belajar tiada henti. Momentum tahun ajaran baru tak boleh dilewatkan begitu saja. This time for change!
Biarkan proses perubahan berjalan secara perlahan dan berkesinambungan, sehingga sekolah menjadi sebuah tempat kerja yang menggairahkan dan menjadi lingkungan pembelajaran yang istimewa (Etheridge, 1994). Titik awalnya bisa dimulai di tahun ajaran baru dengan melibatkan seluruh konstituen sekolah dalam kerangka proses pengambilan keputusan. Selamat datang tahun ajaran baru. Selamat berjuang menjadi sekolah pembelajar. Mulailah sekolah berbenah di hari ini. Jangan menunggu besok apalagi tahun depan. Karena kita tak pernah tahu, apakah esok akan menyapa? Wallahu A’lam