REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Andi Nurroni/Wartawan Republika
Titik balik hidup setiap manusia sering kali datang tidak terduga. Sebuah kejadian bisa saja mengubah arah hidup seseorang 180 derajat. Kisah Restu, misalnya. Pemuda pengangguran 20-an tahun itu digerebek polisi di rumahnya di Surabaya awal 2015 silam. Restu diciduk aparat karena tindakannya mengedarkan pil koplo. Barang terlarang yang dikategorikan narkoba.
Tak hanya pengedar, pemuda lusuh berambut gondrong itu juga mengaku seorang pencandu. Selama menunggu putusan pengadilan, Restu ditempatkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Surabaya, yang berada di Desa Medaeng, Sidoarjo. Karena dianggap hanya bandar kelas teri dan narkoba yang ia simpan termasuk golongan rendah, Restu hanya divonis delapan bulan kurungan.
Sehubungan dengan masa hukumannya yang tergolong singkat, Restu tetap dikurung di rutan. Ia tidak dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan atau lapas. Satu-dua bulan pertama adalah siksaan yang perih bagi dia. Ruang geraknya terhalang dinding penjara. Terlebih, tubuhnya terus menagih pil koplo yang terlanjur rutin ia konsumsi. Namun, di rutan itu pula ia menemukan cinta barunya: membaca novel.
Per Juni 2015, tercatat sekitar 1800 tahanan dan terpidana menghuni Rutan Medaeng. Kecuali momen-momen tertentu, setiap hari, para warga binaan menjalani kegiatan yang sama. Mereka dikeluarkan dari sel dua kali dalam sehari, yakni pukul 07.00 hingga pukul 11.30, serta pukul 13.30 hingga 17.30 WIB.
Selama waktu bebas itu, berbagai aktivitas mereka lakukan untuk mengisi waktu. Entah itu bermain bola basket, badminton, bermain musik, pergi ke tempat peribadatan, atau sekedar kumpul-kumpul bergerombol di sudut-sudut ruang terbuka. Selain tempat olahraga dan tempat ibadah, ada satu fasilitas yang menjadi pelarian bagi sebagian kecil warga binaan. Itu adalah taman bacaan.
Taman bacaan seukuran warung di Rutan Medaeng berdiri dipojok lapangan berlantai beton. Lapangan di depannya menjadi ruang aktivitas utama para warga rutan. Di taman bacaan, terdapat satu lemari kaca besar dan satu rak kecil tempat memajang koleksi buku mereka. Bagian depan taman bacaan itu dibiarkan terbuka menghadap ke lapangan. Ada sejumlah meja berkaki rendah agar pengunjung lebih leluasa membaca sembari lesehan di atas karpet.
Berkunjung ke Rutan Medaeng akhir Mei lalu, di perpustakaan itu saya mendapati Restu dan beberapa orang rekannya tengah asyik membaca. Ditemani Kepala Subseksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan (Bankumluh) Rutan Medaeng Anggre Anandayu, saya menggali sejumlah cerita dari Restu dan sejumlah pengunjung taman bacaan itu.
Restu, si pemuda tinggi kurus itu sejenak menghentikan aktivitasnya membaca ketika saya mengajaknya bicara. Sebuah novel remaja berjudul Jingga ia tutup, setelah ia beri tanda pembatas. Ia bercerita, sudah tiga bulan ia menjadi pengunjung taman bacaan itu. “Awalnya, sih iseng main ke sini. Habis bosen,” kata dia agak malu-malu.
Berawal dari sebuah novel, ternyata ia ketagihan membaca novel-novel lainnya. Sejak tiga bulan lalu ia mulai membaca, sudah 20 novel ia lahap tuntas. Kepada saya, Restu menyebutkan beberapa judul yang menurut dia paling berkesan. Di antaranya novel berjudul “Demi Ayah”, “Jangan Buang Ibu” dan “Cantik itu Luka”.
Dari judulnya, dua karya pertama yang ia sebutkan tampaknya sejenis novel sastra remaja. Saya sendiri belum pernah mendengar judul-judul itu. Tapi judul terakhir, novel karya Eka Kurniawan itu terbilang sastra serius dengan plot dan latar tidak mudah dinikmati.
Restu yang hanya lulus SMP mengaku, sebelumnya ia tidak pernah membaca novel sama sekali sepanjang hidupnya. Kini, seperti dikatakan temannya, Restu menjadi pengunjung paling setia taman bacaan Rutan Medaeng. Tiga bulan menjelang masa bebasnya, Restu kini mulai membayangkan untuk membeli novel sendiri dari toko buku di luar sana. “Saya jadi suka aja (baca novel). Padahal dulu, paling cuma baca koran,” ujar dia.
Di Rutan Medaeng, Restu bukanlah satu-satunya yang mendadak gemar membaca. Ada juga Risky, pemuda 21 tahun yang dijerat pelanggaran UU Perlindungan Perempuan dan Anak. Berbeda dengan Restu, Risky lebih menyukai buku-buku kecakapan dan berbagai panduan praktis. Beberapa buku yang digemarinya, bertema kesehatan.
Sejak membaca buku-buku kesehatan, Risky mengaku termotivasi untuk hidup lebih sehat. “Saya jadi suka olahraga. Kadang lari, kadang bulu tangkis. Kalau mau dijenguk, saya minta dibawain buah-buahan,” ujar Risky.
Menurut Harianto (43), terpidana kasus penipuan yang menjadi penjaga taman bacaan, buku-buku menjadi teman bagi para penghuni rutan merenungkan kesalahan yang telah dilakukan. Tak heran, menurut Harianto, selain novel, buku-buku bertema agama juga banyak digemari.
Harianto melaporkan, taman bacaan Rutan Medaeng kini memiliki 916 koleksi. Dengan tingkat kunjungan 20 hingga 30 orang per hari, menurut dia, jumlah buku yang tersedia sangat kurang. “Koleksinya kurang, pengunjung jadi makin berkurang karena bosan (bukunya) itu-itu saja,” ujar dia.
Restu dan Risky hanyalah dua contoh kisah pesakitan yang hidup di penjara berteman buku. Jauh sebelum mereka, nama-nama besar, seperti Soekarno atau Pramoedya Ananta Toer, juga punya kisah-kisah inspiratif serupa. Bagi mereka, buku agaknya menjadi semacam pelarian pikiran. Ketika raga tak sanggup merobohkan dinding penjara, buku menjadi pintu ajaib yang bisa membawa mereka bersenang-senang ke mana saja.
Pakar psikologi forensik Universitas Surabaya (Ubaya) Prof Yusti Probowati menjelaskan, buku memang merupakan salah satu media terapi psikologi yang dianjurkan bagi warga binaan. Meski begitu, menurut Yusti, terapi melalui buku seharusnya disertai dengan pendampingan dari tenaga ahli.
“Selain itu, buku-buku yang diberikan harus selektif, harus yang memotivasi dan selektif. Jangan sampai, misalnya, karena pengetahuan pengelola kurang, ada majalah-malajah yang memuat gambar-gambar perempuan. Padahal di lingkungan rutan didominasi laki-laki, jadi kurang cocok,” kata Yusti.