REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kedua, Syamsuddin Arif, menambahkan, intelektual tersebut adalah mereka yang selalu berseberangan dengan penguasa, senantiasa kritis dan memberontak terhadap segala bentuk kemapanan atau status quo.
“Ketiga, jika mereka adalah orang-orang yang ‘berumah di atas angin’, tidak membumi (déracinés), tak punya kuasa dan hanya pandai bicara, maka intelektual bukanlah ulama,” kata Syamsuddin.
Intelektual boleh jadi ateis, komunis, hedonis, liberalis, sekularis, dan pluralis. “Para ulama sejati tidak akan durhaka kepada Allah, tidak mungkin mengikuti ideologi ideology yang keliru dan menyesatkan,” tegas Syamsuddin.
Namun, kata Syamsuddin, andaikata ada orang-orang yang disebut ulama, dianggap ulama, ataupun merasa dirinya ulama, menunjukkan ciriciri yang aneh, maka itulah yang diistilahkan oleh Imam al-Ghazali sebagai ulama su’ - atau ulama yang kualitasnya rendah, buruk, dan rusak.