REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Menurut Dr Syamsuddin Arif, ulama juga tidak sama dengan intelektual, meskipun mereka boleh jadi sama-sama tidak terikat baik dari segi ide (non-committal) maupun aksi (independent) kepada kelompok, organisasi, aliran atai mazhab tertentu, berdiri di atas dan untuk semua golongan (non-sectarian).
Juga, kata Syamsuddin, tidak memihak (non-partisan) secara fanatis, dan justru senantiasa kritis, pantang menyerah (non-conformist), dan menentang arus (oppositional), atau berani berbeda (dissident) dan menunjukkan perlawanan (resistant) terhadap tirani, kebodohan dan ketidakadilan.
Lalu, di mana letak perbedaannya? Perbedaannya , kata Syamsuddin, terletak pada niat dan manhaj, pada aqidah dan akhlaq mereka. “Maka sekali-kali tidak mungkin kita menyamakan al-Ghazali dengan Kant, as-Subki dengan Voltaire, atau Hamka dengan Goenawan Mohammad,” papar Syamsuddin Arif.