REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Education and Knowledge Management Specialist, Education Sector Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) Indonesia, Totok Amin Soefijanto menilai partsipasi murid terhadap Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mengalami peningkatan. Bahkan, meningkat lebih cepat daripada Sekolah Menengah Atas (SMA).
“Itu berdasarkan pengamatan ACDP,” ujar Totok saat diskusi tentang ‘SMK Menjawab Daya Saing Nasional’ di Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, Rabu (7/10).
Totok menerangkan, partistpasi murid ke SMK tercatat meningkat sebanyak 15 persen. Dengan kata lain, sebanyak 4,2 juta murid secara nasional memilih SMK. Hal ini berarti mencakup 70 persen dari total angka partsipasi murid ke jenjang SMA pada 2011 hingga 2013. Atau, mencakup 50 persen dari total angka partisipasii di 2013.
Menurut Totok, peningkatan ini lebih banyak terjadi pada keluarga yang kurang mampu atau miskin. Pendidikan SMK menjadi pilihan utama mereka. Penyebabnya, mereka akan mudah mendapatkan pekerjaan ketika lulus. Jadi, ia menegaskan, hampir semua motifnya karena ekadaan ekonomi.
Dengan adanya angka partisipasi yang cukup tinggi, Totok menilai ini akan memudahkan pemerintah dalam menargetkan Program Wajib Belajar (Wajar) 12 Tahun. Hal ini karena pemerintah bisa mengajak masyarakat kurang mampu untuk memasukkan anaknya ke SMK.
“Dan permasalahnnya sekarang adalah apakah SMK siap untuk memberikan kualitas yang sesuai?” kata Totok.
Sejauh ini, SMK terlalu sibuk dangan jurusan yang mereka miliki. Sementara sektor swasta atau industri sudah banyak mengalami perubahan. Menurut Totok, perlu ada kordinasi kuat antara SMK dengan dunia industri. Menurut Totok, SMK bisa berkerjasama dengan pihak industri. Ini dilakukan agar SMK bisa memperkuat sarana dan prasarana di sekolah. Sehingga, dia melanjutkan, tidak memboroskan anggaran negara mengingat pembiayaan dari pemerintah tidak mencukupi.