REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyadari sekolah yang lebih banyak didirikan itu Sekolah Menengah Atas (SMA). Dengan demikian, secara presentasi akan berbanding 7000 : 2800 antara jumlah SMA dan SMK.
“Kenapa sampai seperti itu? Karena dulu ada anggapan sekolahlah setinggi langit dan lupa bahwa di Perguruan Tinggi (PT) kapasitasnya terbatas,” ujar Direktur pembinaan SMK, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) Mustaghfirin Amin saat diskusi tentang ‘SMK Menjawab Daya Saing Nasional’ di Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, Rabu (7/10).
Kemudian, Mustaghfirin juga menerangkan, keterampilan yang didapatkan melalui SMA kurang signifikan. Karena itu, pemerintah pun tidak ingin membiarkan anak bangsa tidak memiliki keterampilan apapun. Dengan demikian, pemerintah pun membuat kebiajakan yang dinilai baik, yakni memberikan harapan melalui SMK.
“Itulah mengapa kita mendorong agar anak-anak sekolah di SMK,” ungkap Mustaghfirin.
Untuk saat ini, Mustaghfirin menyatakan, akan terus membenahi mutu pendidikan SMK. Salah satu yang perlu dibenahi itu dari segi investasinya. Artinya, kata dia, SMK harus mencari dukungan dari pihak swasta atau industri.
Mengenai mutu, Mustaghfirin menerangkan, tiap sekolah tentu akan mengalami kesulitan dalam membenahinya. Hal ini diutamakan pada fasilitas SMK yang biasanya harganya sangat mahal. Untuk itu, SMK juga harus mendorong diri dengan melakukan kerjasama dengan industri.
Menurut Mustgahfirin, siswa SMK biasanya akan melakukan kegiatan belajar di industri selama tiga hingga enam bulan. Kegiatan ini sudah berjalan dan semacam sebuah gerakan. “Memang industri Indonesia terutama di manufaktur belum tumbuh tapi mereka lambat laun akan membutuhkan tenaga kerja yang dini, yakni yang berusia 18 tahun,” terang Mustaghfirin.