REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Angka partisipasi pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) masih rendah hingga kini. Pengamat pendidikan dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Itje Chodijah pun mengakui situasi ini. Menurutnya, penyebab rendahnya angka partisipasi ini karena kultur masyarakat.
"Di dalam kultur masyarakat masih ada orangtua yang malu memiliki ABK," ujarnya kepada Republika.co.id, Sabtu (7/11).
Sebagian orangtua yang memiliki ABK malu untuk memperlihatkan anaknya ke publik. Karena itu, mereka membiarkan anaknya untuk tidak mengenyam pendidikan. Selain itu, Itje juga mengkritisi ihwal sekolah inklusi di Indonesia.
Konsep sekolah ini berbeda dengan sekolah di negara maju. Negara maju tetap memasukan ABK ke sekolah biasa tapi diberikan pelayanan khusus, yakni guru pembimbing khusus.
Dengan dimasukkannya ABK ke sekolah biasa, Itje mengaku tidak khawatir akan adanya pelecehan terhadap ABK oleh anak normal.
"Justru di sinilah letak pendidikan, yakni harus mendidik anak untuk bersikap yang baik juga," katanya.
Selain itu, konsep ini justru membuat anak normal terbiasa hidup berdampingan dengan ABK. Dengan demikian, mereka bisa saling menghargai satu sama lain ke depannya. Ia berpendapat, tidak perlu ada pembeda jenis sekolah antara anak normal dan ABK.
ABK juga perlu melihat sesuiatu yang normal dalam hidupnya. Karena itu, wanita yang juga Praktisi Pendidikan di Global Islamic School (GIS) ini menganggap adanya ketidakadilan dalam pendidikan di Indonesia.
Itje menjelaskan, pemerintah yang berkenaan dengan pendidikan itu sebenarnya bertugas untuk menyiapkan warga negara.
Dengan kata lain, manusia yang memiliki kekurangan apapun memiliki hal yang sama untuk mendapatkan pelayanan. Dalam hal ini, sekolah juga harus siap menghasilkan anak demi masa depan bangsan termasuk untuk para ABK.
Sejauh ini, Itje berpendapat, fasilitas yang diberikan pemerintah untuk ABK masih minim. Selain sarana dan prasarana, guru ABK juga masih terbatas jumlahnya. Karena itu, hal-hal inilah yang menjadi pekerjaan rumah para pemerintah untuk memperbaikinya.
"Kalaupun tidak bisa membuat konsep sekolah seperti di negara maju, sekolah inklusi harusnya diperbanyak lagi, termasuk gurunya," ujarnya lagi.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud, Hamid Muhammad mengatakan angka partisipasi bersekolah anak berkebutuhan khusus (ABK) masih rendah hanya sebesar 10-11 persen dari jumlah total 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Tanah Air.
"Dari 1,6 juta ABK di Indonesia, baru 164 ribu anak yang mendapat layanan pendidikan. Angka partisipasinya berarti 10 -11 persen saja," kata Hamid.