REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ghelviny merupakan pemenang lomba kreativitas Guru SMP bidang Matematika. Kemenangan ini ternyata tidak memperoleh dukungan yang sesuai dari sekolahnya.
Guru SMPN 199 Jakarta ini mengatakan, pihak sekolah hanya memberikan ucapan 'selamat' saat dia mampu menjadi pemenang lomba tersebut.
“Tidak ada dukungan semisal fasilitas atau apapun, hanya ucapan selamat,” kata Ghelviny saat menghadiri Kongkow Pendidikan: Diskusi Ahli dan Tukar Pendapat bertemakan "Belajar dari Guru yang Tak Henti Belajar" di Gedung A, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, Kamis (10/12).
Menurut Ghelviny, apa yang dia lakukan sebernanya untuk mengangkat nama sekolah tersebut menjadi yang berprestasi.
Ghelviny mengungkapkan, keberadaan guru honorer semacam dia seperti 'antara ada dan tiada'. Lebih tepatnya, guru honorer dianggap seperti ‘ban serep’ yang digunakan saat diperlukan saja. Guru honorer hanya bertugas melengkapi sekolah-sekolah yang mengalami kekurangan guru pada satu mata pelajaran.
Padahal, kata dia, kualitas guru honorer dengan PNS sama-sama baik. Bahkan, banyak guru honorer yang kualitasnya lebih baik daripada PNS. Namun prestasi ini malah tidak mendapatkan apresasi yang sesuai dari sekolah, pemerintah pusat, maupun daerah.
Pada hakikatnya, Ghelviny ingin terus berkarya lebih untuk sekolah. Namun dukungan dari banyak pihak untuk guru honorer seperti dia belum terlalu signifikan. Dia berpendapat, keberadaan guru honorer sepertinya kurang dihargai.
Dalam kehidupan di lapangan, banyak guru honorer yang tidak merasa tenang atas jabatannya di sekolah. Apalagi saat terdapat guru bantu atau PNS yang diinformasikan akan mengajar di sekolahnya. Kondisi ini membuat khawatir para honorer yang bisa saja tergeserkan posisinya dari kehadiran para guru tersebut.
Ke depan, dia berharap adanya perhatian dari sekolah, pemerintah pusat maupun daerah. Setidaknya memberikan hidup yang layak bagi ratusan guru honorer lainnnya, terutama yang berprestasi.
“Ada yang kerjanya lebih dari 30 jam tapi gajinya tetap tidak layak. Bahkan dulu saya sempat digaji dengan beras,” kata guru honorer kategori dua tersebut.