REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Hafil/Wartawan Republika.co.id
Siapapun, bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk bangsa dan negara. Tidak melulu dengan mempersembahkan hal-hal spektakuler yang menarik perhatian masyarakat dan mendapat pengakuan pemerintah. Menjaga nilai-nilai sejarah di daerah perbatasan dan pulau terpencil juga salah satu bentuk persembahan warga negara untuk kemajuan daerahnya.
Pulau Morotai, di Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara, merupakan salah satu pulau terdepan di bagian utara Indonesia. Pulau ini berbatasan dengan perairan laut Kepulauan Filipina.
Wilayah seluas 2.474,94 km2 ini dikenal memiliki pulau-pulau dan perairan yang indah yang sebagiannya sudah dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata. Pulau Morotai juga menyimpan kekayaan sejarah yang bisa menarik minat wisatawan lokal maupun asing untuk berkunjung. Hal tersebut lantaran di pulau ini terdapat kekayaan sejarah berupa sisa-sisa Perang Dunia kedua.
Pada Perang Dunia kedua, Pulau Morotai pernah dikuasai Jepang sejak 1942. Namun, penguasaan tidak berlangsung lama karena Pasukan Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat berhasil merebut pulau ini pada 1944 dan menjadikannya sebagai pangkalan militer untuk mengatur strategi perang di kawasan Pasifik.
Perang telah lama usai. Pasukan Jepang maupun Sekutu pun telah lama meninggalkan Pulau Morotai. Namun, tidak semua 'perabotan' perang ikut mereka bawa ke negeri masing-masing.
Ada yang ditinggalkan karena hancur akibat perang tapi ada juga yang sengaja ditinggalkan untuk efektivitas perjalanan pulang mereka. Peralatan perang itu sebagian disembunyikan di dalam tanah atau dibiarkan begitu saja ditinggal di dalam hutan. Ada juga yang dibuang ke laut.
Pulau Morotai seolah menjadi 'tempat sampah' sisa-sisa perang. Sebut saja, bangkai tank amfibi, bangkai pesawat tempur yang di wilayah perairan, botol-botol minuman, kalung, brevet, hingga persenjataan berat maupun ringan beserta amunisinya bisa ditemukan di pulau ini.
Materi perang yang sudah menjadi rongsokan itu memang bukan warisan hasil kebudayaan bangsa Indonesia sendiri. Namun, sisa-sisa perang itu bisa menjadi alat yang yang bermanfaat untuk negara melalui jalur pariwisata dan pendidilkan.
Pulau itu menjadi situs Perang Dunia kedua yang mampu menarik minat para wisatawan lokal maupun asing yang ingin bernapak tilas tentang perang yang disebut-sebut sebagai perang terbesar sepanjang sejarah umat manusia.
Sayangnya, tidak banyak penduduk di Pulau Morotai memiliki kesadaran bahwa rongsokan peralatan perang itu bisa memajukan daerah lewat jalur pariwisata dan pendidikan.
Pada umumnya, mereka menjual rongsokan itu kepada pihak luar. Mendapatkan uang, lantas kehilangan nilai sejarah.
Hanya segelintir orang penduduk Pulau Morotai yang paham bahwa rongsokan itu bisa memajukan daerahnya. Mereka menjadi pengumpul ribuan sampah Perang Dunia kedua dan tidak pernah mau menjualnya.
Adalah Muhlis Eso (34 tahun), penduduk Desa Yayasan, Pulau Morotai. Ia menjadi pengumpul rongsokan peralatan perang sejak usianya 10 tahun. Ia mencari dan mengumpulkan sisa-sisa perang di dalam hutan hingga ke dasar lautan. Ia menemukan berbagai macam persenjataan, bom, granat, peluru, brevet, hingga botol-botol minuman milik serdadu baik Jepang maupun Sekutu. Jumlahnya mencapai ribuan.
Ia menemukan, mengumpulkan, dan menyimpan di dalam rumah kecilnya yang ia namakan sebagai 'Museum Swadaya Perang Dunia Kedua'. Karena paling senior dan menjadi penggagas, ia diangkat menjadi ketua Ketua swadaya museum Perang Dunia dua tersebut.
Museum itu jauh dari kesan museum kebanyakan yang berbentuk gedung-gedung bertingkat dan mewah. Museum itu hanya berukuran sekitar 2x2 meter yang terletak di samping rumahnya. Hanya beratapkan seng dan dinding yang terbuat dari kayu.Tidak ada pendingin ruangan ataupun papan petunjuk.
Namun, museum itu mampu menarik minat wisatawan baik lokal maupun asing. Muhlis juga memiliki pengetahuan yang dalam tentang keberadaan pasukan Jepang dan Sekutu di Pulau Morotai. Dengan sabar, ia akan menerangkan kepada setiap pengunjung tentang barang-barang koleksinya yang ia miliki.
Berdasarkan pantauan Republika.co.id, rumah Muhlis yang sebagiannya ia sulap menjadi 'museum darurat' itu memang kerap dikunjungi wisatawan. Untuk wisatawan asing. Muhlis mengatakan bahwa mereka pada umumnya berasal dari negara-negara yang terlibat Perang Dunia kedua seperti Australia, Amerika Serikat, Belanda, dan Jepang.
Untuk pendidikan, museum di rumahnya itu kerap dikunjungi peneliti, komunitas sejarah, maupun siswa sekolah yang ingin belajar tentang sejarah. “Banyak anak-anak sekolah yang memiliki minat pada sejarah bolak-balik datang ke sini,” kata Muhlis kepada Republika.co.id, Senin (25/1).
Ia menjadi pengelola museum itu. Pada awalnya, ia mendirikan dan membiayai pembangunan museum itu bersama rekan-rekannya yang memiliki pandangan yang sama. Sama sekali tidak ada bantuan pemerintah. Tujuannya tidak muluk-muluk; melestarikan nilai-nilai sejarah agar anak-anak muda dan penduduk di Pulau Morotai paham dengan kekayaan sejarah yang dimiliki pulau itu. "Sayang kalau anak-anak sekarang tak paham sejarah bahwa pulau ini pernah menjadi bagian penting sejarah dunia," kata Muhlis.
Kegiatan Muhlis yang memimpin para pemuda untuk menjaga sejarah di Pulau Morotai menjadi inspirasi bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pulau Morotai. Pada 2012 lalu, Pemkab bekerjasama dengan pemerintah pusat membangun museum resmi Perang Dunia Kedua. Namun, hampir seluruh isi museum diambil dari koleksi milik museum swadaya Muhlis.
Muhlis pun, tak keberatan jika barang-barang temuan yang saat ini ia miliki harus diserahkan ke pemerintah untuk disimpan di museum. Namun, ia menegaskan bahwa ia tidak menjual barang-barangnya itu kepada pemerintah. Ia hanya ingin pemerintah memperhatikan dan ikut merawat aset-aset sejarah yang ada di Pulau Morotai.
Pesan Kakek
Pandangan Muhlis menjaga sejarah di Pulau Morotai menunjukan kerisauannya tentang banyaknya penduduk yang tidak tahu dengan sejarah di pulau itu. Sebagai contoh, banyak penduduk yang tidak tahu di mana lokasi yang menjadi titik-titik sisa peninggalan perang seperti peninggalan dua buah tank amfibi yang terletak di kawasan Tanah Tinggi.
Padahal, saat ini dua buah tank yang berada di tengah perkebunan itu telah dibuatkan atap untuk memberikan kenyamanan pada pengunjung. Atau, jarangnya penduduk yang mengetahui di mana lokasi tempat pemandian Jenderal Douglas Mac Arthur dan, pemimpin militer Amerika Serikat saat Perang Dunia kedua, yang letaknya tidak seberapa jauh dari landasan pacu Wama Airdrome dan Pitu Airdrome. “Sangat disesalkan sekali warga tak menghargai sejarahnya. Padahal banyak wisatawan yang sering mengunjungi tempat itu,” kata Muhlis.
Awal cerita Muhlis tertarik mengumpulkan benda-benda bersejarah sisa Perang Dunia kedua dimulai saat ia masih berusia 10 tahun. Waktu itu, dia menonton film Janur Kuning yang diputar di Kantor Desa bersama dengan teman-temannya. Ketika pulang, dia menceritakan kekagumannya dengan tentara dan senjata yang digunakan kepada kakeknya.
Kakeknya bertanya, “Apakah engkau ingin melihat senjata yang asli seperti di film itu?”. Muhlis mengiayakannya. Keesokan paginya kakeknya mengajak Muhlis pergi ke hutan sampai sore hari. Mereka berdua kemudian menemukan sampah-sampah sisa perang seperti peluru dan pistol.
Kakeknya bercerita bahwa masih banyak peninggalan-peninggalan perang lainnya baik yang tersimpan di hutan maupun di perairan laut Morotai yang indah. Kakeknya juga berpesan kepada Muhlis jika dia menemukan senjata-senjata itu maka kumpulkan dan simpan tetapi jangan dijual dan diberikan kepada orang asing. “Kakek saya itu kan pejuang 45, jadi dia berpikiran tentara-tentara Jepang dan Sekutu kemungkinan akan kembali ke Morotai mengambil senjata-senjatanya. Jika diberikan maka akan membantu mereka memerangi kita kembali,” kata Muhlis sambil tertawa mengingat pesan kakeknya itu.
Pesan kakeknya, lanjut Muhlis, jika memberikan senjata-senjata itu ke orang asing, maka itu sama saja berkhianat kepada bangsa dan negara. Muhlis menganggap pesan kakeknya mengandung kebenaran juga.
Dengan tidak dijual dan diberikan kepada orang asing, maka sekarang dia menjaga sejarah Pulau Morotai. Sehingga, banyak wisatawan baik lokal maupun asing dan para peneliti serta pelajar datang ke Pulau Morotai untuk belajar tentang sejarah masa lalu Pulau Morotai yang pernah menjadi bagian penting pada Perang Dunia kedua di kawasan Asia Pasifik.
Idealisme Muhlis untuk menjaga sejarah Pulau Morotai itu tetap terpelihara hingga saat ini. Meskipun, pria lulusan SMA itu menjadi penjaga si sebuah sekolah di Kecamatan Daruba, Kabupaten Pulau Morotai. Dengan ‘pekerjaan resmi’ nya itulah dia menghidupi seorang istri dan enam orang anaknya di sebuah rumah kecil yang sebagiannya digunakan sebagai museum tempat menyimpan sejarah Pulau Morotai.
Meskipun sebenarnya, sekitar 13 tahun lalu, Muhlis pernah menjadi guru sejarah di sekolah tersebut karena pihak sekolah meyakini luasnya pengetahuan Muhlis tentang sejarah. Tetapi sekarang dia tersingkir dan menjadi penjaga sekolah karena persyaratan administrasi pendidikan Muhlis yang tak memenuhi syarat untuk menjadi seorang guru.
Secara tidak langsung, Ketua Komunitas Sahabat Museum, Ade Purnama, mengatakan, Muhlis telah berperan dalam melengkapi teka-teki sejarah tentang Perang Dunia kedua. Kegiatannya membantu para sejarawan dunia untuk mengumpulkan informasi tentang rangkaian sejarah terjadinya perang.
“Muhlis selain memberikan kontribusi luar biasa pada pendidikan di Indonesia juga memberikan kesan positif untuk dunia bahwa kegiatan dia yang memimpin kawan-kawannya menyelamatkan artefak perang menguraikan teka-teki perang dunia kedua dan menjadi bagian dalam rangkaian cerita sejarah Perang Dunia kedua,” kata Ade kepada Republika.co.id, Senin (25/1).
Menurut Ade, museum Muhlis bisa menjadi tujuan utama para pelancong yang datang ke Morotai. Karena koleksi di museum Muhlis adalah temuan otentik dan unggulan sisa-sisa Perang Dunia kedua.
Menurut Ade, tidak banyak orang di Indonesia yang memiliki inisiatif seperti Muhlis dalam menjaga sejarah daerahnya. Karena itu, Ade menilai yang dilakukan Muhlis sangat terpuji bagi pengembangan pariwisata dan pendidikan tidak hanya bagi Pulau Morotai, Indonesia, tetapi juga dunia.