Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie
(Praktisi Pendidikan Remaja, GM Sekolah Model Yayasan Pendidikan Dompet Dhuafa)
REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Salah satu instrumen penting dalam pendidikan adalah kurikulum. Maka, tak heran di negeri ini pembicaraan seputar kurikulum tak pernah sepi. Namun, sayangnya diskusinya lebih berkutat pada tataran politis ketimbang pragmatis, apalagi ideologis.
Maka, muncul adagium, “Ganti mentri, ganti kurikulum.” Saya tidak ingin berpanjang kata diskusi dalam tataran ini. Silakan Anda mengambil persepsi masing-masing tentang fenomena ganti mentri ganti kurikulum di negeri ini.
Saya ingin mengajak Anda diskusi tentang kurikulum pada tataran ideologis. Karena saya Muslim, maka saya menulis dalam perspektif Islam. Namun, tak perlu khawatir atau phobia. Karena, Islam itu rahmat bagi semesta. Islam dengan semua sistem yang ada di dalamnya, termasuk sistem pendidikan, pasti menghadirkan kemaslahatan bagi semua manusia. Pasti memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa dan negara.
Berbicara tentang kurikulum pendidikan, maka kita mesti memulainya dari tujuan pendidikan. Karena, kurikulum inilah perangkat yang diharapkan mengantarkan kepada tercapainya tujuan pendidikan. Dalam Islam, tujuan pendidikan itu ada dua; yaitu mendidik anak-anak menjadi hamba yang ta’at (QS. Adz-Dzariyat: 56) dan mengkader anak-anak menjadi khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30).
Tujuan besar ini mesti diturunkan dalam kurikulum pendidikan dalam setiap jenjang pendidikan. Maka, dari sini pula terlihat jelas urutan kurikulum pendidikan dalam Islam. Ada dua aktifitas besar dalam pendidikan; pertama mendidik anak-anak agar menjadi hamba yang ta’at. Ini tidak ada pilihan. Karena, setiap anak (muslim), apapun pilihan profesinya nanti, menjadi pengusahakah, ekonomkah, politisikah, dokterkah, insinyurkah, mereka harus menjadi hamba yang ta’at kepada Allah.
Aktifitas kedua adalah mengkader anak-anak agar mampu mengemban amanah sebagai khalifah di bumi. Untuk hal ini, barulah pilihan profesi. Anak-anak boleh mengambil kompetensi dibidangnya masing-masing. Kemudian, dengan kompetensi itu anak mesti berkontribusi bagi dakwah Islam dan kemaslahatan umat.
Inilah tugas khalifah untuk memakmurkan bumi, bukan merusak bumi. Tugas ini akan terlaksana dengan baik jika telah terbentuk hamba yang ta’at dalam diri anak-anak. Sehingga, mereka akan memberikan kontribusi terbaik dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT.
Dalam tataran yang lebih praktis, maka disain kurikulum dalam proses pendidikan pada setiap jenjang pendidikan mesti mengacu pada dua poin di atas. Artinya, pada tahun-tahun awal mestinya muatan kurikulum itu lebih banyak berfokus pada pendidikan Agama dengan semua turunannya; Tauhid, Al-Qur’an dan Hadis, akhlak, ibadah, dan sejarah Islam. Metode pembelajaran mesti dirancang dengan apik agar proses pendidikan Agama itu berjalan dengan baik dan sukses.
Targetnya ketika anak memasuki usia baligh, dia telah siap sebagai seorang muslim untuk menerima taklif (kewajiban menjalankan ajaran Islam secara total). Ini yang perlu menjadi perhatian serius bagi para pejuang pendidikan. Fase baligh yang pasti dilalui oleh setiap anak.
Pertanyaannya, “Apakah pendidikan kita menyiapkan dengan baik dan serius setiap anak didiknya untuk siap memasuki usia baligh?” Ketika anak mencapai fase baligh, maka setiap perkataan dan perbuatannya sudah berkonsekuensi hukum. Pahala atau dosa, neraka atau surga, ridha atau murka Allah.
Seiring sejalan dengan pendidikan Agama ini, anak-anak juga diajarkan ilmu pegetahuan dan kompetensi, namun porsinya masih sedikit. Ilmu pengetahuan dan kompetensi yang dasar-dasar saja dulu. Tidak terlalu dalam karena memang belum waktunya.
Pada tingkat sekolah dasar misalnya, ajarkan anak-anak membaca, berhitung, dan menulis. Kenalkan anak-anak dengan lingkungan sekitar untuk mengamati semesta sebagai tanda kebesaran dan kekuasaan Allah. Tak perlu dulu diajari rumus-rumus matematika yang rumit-rumit itu.
Mari sejenak kita tengok wajah pendidikan negeri ini. Sedari jenjang sekolah dasar, anak-anak kita sudah dijejali dengan muatan ilmu pengetahuan yang beraneka macam. Namun, porsi pendidikan Agama kurang mendapat porsi semestinya.
Akibatnya, ketika anak memasuki usia baligh, terlebih anak-anak zaman sekarang lebih cepat baligh dari anak-anak generasi sebelumnya, mereka belum siap menjadi muslim. Mereka belum siap menerima taklif. Shalatnya masih berantakan, membaca Al-Qur’an masih mengeja dan terbata-bata, miskin akhlak dan adab, puncaknya mereka tidak kenal kepada Tuhannya dan Rasul.
Ini adalah sebuah kecelakaan dalam pendidikan. Jika tidak ada perbaikan sistem pendidikan, artinya model kurikulum seperti ini terus diberikan pada jenjang pendidikan selanjutnya, maka bisa jadi pendidikan kita hanya akan melahirkan himar-himar pendidikan. Alqur’an sudah mengingatkan hal ini ketika menyindir keras ahli ilmu dari Bani Israil.
Mereka punya ilmu banyak, namun ilmunya tidak menjadikannya ta’at kepada Allah dan semakin dekat kepada-Nya. Ilmunya tidak membuatnya berlomba-lomba menebar kebaikan pada sesama. Sebaliknya, dengan ilmunya itu, mereka malah semakin ingkar kepada Allah dan berbuat kerusakan di bumi.
Maka, Alquran menyindir keras mereka dengan mengumpamakannya seperti keledai yang memikul kitab-kitab di punggungnya (QS. Al-Jumu’ah: 5). Ilmu yang banyak itu tidak memberikan manfaat sama sekali bagi mereka. Mestinya ini menjadi pelajaran bagi kita, umat Nabi Muhammad SAW, agar tidak menjadi bagian yang terkena peringatan keras itu. Karena itu, pembaruan kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah kita adalah sebuah keniscayaan agar sekolah-sekolah kita tidak lagi meluluskan himar-himar pendidikan.
Oleh karena itu, mari kita melakukan tugas besar ini bersama-sama. Kita lakukan kajian kurikulum, bedah kurikulum, untuk kemudian membuat disain kurikulum yang sesuai dengan tujuan pendidikan dalam Islam. Tentu saja bukan di sini tempatnya saya memaparkan dengan detail contoh muatan kurikulum berdasarkan Islam. Garis besarnya sudah saya tuliskan di atas, tinggal kita mengkaji dan membedah kurikulum sekolah-sekolah kita.
Satu hal lagi yang penting dalam konteks kurikulum pendidikan Islam adalah Islamisasi sains. Artinya, nilai-nilai Islam harus masuk ke setiap mata pelajaran. Belajar mata pelajaran apapun, anak-anak harus dikenalkan kepada Tuhannya dan Rasulullah SAW.
Tujuannya agar keimanan terinternalisasi dalam jiwa anak-anak. Sebagai contoh, dulu kita belajar Biologi bab sistem reproduksi, hanya diajarkan bahwa proses reproduksi manusia itu berawal dari pertemuan sel sperma ayah dengan sel telur ibu dalam rahim, lalu terjadi pembuahan, berkembang jadi embrio dan seterusnya sampai lahirnya bayi. Selesai sampai di sini. Tidak ada penjelasan tentang Tuhan yang mengatur proses itu semua.
Padahal, Al-Qur’an berbicara tentang proses penciptaan manusia pada surat Al-Mukminun ayat 12 sampai 16. Dan, ayatnya tidak berhenti sampai lahirnya bayi, melainkan dilanjutkan dengan penegasan Mahasuci Allah, pencipta yang paling baik. dilanjutkan dengan peringatan bahwa setelah hidup, pasti akan mati. Dan, setelah kematian, pasti akan dibangkitkan untuk dimintai pertanggungjawaban.
Bayangkan, ketika belajar Biologi, disaat yang sama anak-anak ditanamkan keimanan kepada Allah dan hari akhirat. Jika model pembelajaran ini terus dilakukan, maka anak-anak akan tumbuh menjadi anak-anak yang ta’at kepada Tuhannya (Allah SWT), meneladani Rasulullah SAW, dan serius mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat. Karena, mereka mengimani kehidupan akhirat itu ada dan pasti berjumpa dengan Tuhannya.
Model pendidikan seperti inilah yang perlu kita ikhtiarkan dengan maksimal dalam sekolah-sekolah kita. Sehingga, sekolah-sekolah kita melahirkan generasi yang ta’at kepada Allah dan siap membangun peradaban Islam di bumi ini. Wallahu A’lam…