REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejujuran memang menjadi pelajaran yang sangat mahal dan berharga. Maka itu, banyak negara berusaha keras menanamkan kejujuran sejak usia dini, agar jujur menjadi sebuah kebiasaan atau bahkan budaya di negara tersebut.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, memiliki cerita tersendiri kala menjadi saksi kejujuran di Jepang, yang seakan sudah tertanam di setiap benar berbagai elemen masyarakat. Cerita itu ia alami ketika masih muda, tepatnya saat berusaha menaklukkan Gunung Fuji di Jepang, yang ia lakukan bersama sekitar empat orang temannya.
Ia mengatakan, setiap pendaki di Gunung Fuji memang akan mendapatkan tongkat khusus yang akan dibubuhkan stempel emas, setiap kali berhasil mencapai tahapan ketinggian tertentu. Dengan bersusah payah, Anies bersama empat orang temannya berhasil mencapai puncak Gunung Fuji, dengan tentu saja stempel-stempel emas yang dibubuhkan di tongkat mereka.
"Itu bukti kalau kita pernah mencapai puncak Gunung Fuji," kata Anies, Sabtu (6/2).
Dengan bangga, lanjut Anies, ia dan empat temannya membawa turun tongkat yang menjadi bukti jelas pencapaian mereka mencapai puncak Gunung Fuji, untuk tentu saja diperlihatkan kepada orang-orang. Kelimanya memutuskan untuk menaiki sebuah taksi bersama-sama, untuk pulang menuju asrama atau hotel tempat mereka menginap bersama.
Rasa lelah yang melanda ia dan empat orang temannya, diakui Anies, seketika membuat mereka terlelap di dalam taksi seiring kendaraan itu menempuh perjalanan menuju penginapan mereka. Kelima tongkat kebanggaan berstempel emas itupun diletakkan di bagian belakang kursi, agar tidak mengganggu mereka yang memang harus berhimpitan di dalam satu taksi.
Sesampainya di penginapan dan diliputi rasa kantuk, Anies dan empat orang temannya langsung membayar dan turun dari saksi, berharap dapat segera sampai di kamar untuk beristirahat. Sayangnya, tidak ada satupun dari mereka yang mengingat akan tongkat bukti pencapaian, sehingga tertinggal begitu saja di bagian belakang taksi.
Anies mengungkapkan, mereka berlima baru sadar tidak lama setelah sampai di kamar tempat mereka menginap, kalau tongkat bukti pencapaian mereka tertinggal di dalam taksi yang telah pergi. Tidak bisa berbuat apa-apa, ia dan keempat orang temannya dengan berat hati harus merelakkan tongkat mereka hilang, sekaligus bukti kalau mereka sudah menaklukan Gunung Fuji.
Selang beberapa waktu, betapa kagetnya Anies dan empat orang temannya saat melewati bagian penerima tamu di penginapan mereka. Sebab, di sana terpampang lima tongkat berbubuhkan stempel emas yang hanya bertuliskan sedikit informasi pemilik, serta tanpa keterangan dari orang yang mengembalikkan.
Anies menjelaskan di sana hanya ada sedikit tulisan yang menerangkan kalau tongkat-tongkat itu dimiliki oleh pelanggan taksi, dengan keterangan waktu pelanggan tersebut saat menaikinya. Kini, ia dapat menceritakan kembali kisah itu dengan kekaguman, kepada seseorang yang hanya berprofesi sebagai supir taksi biasa tapi menerapkan kejujuran dalam kehidupan.
"Bayangkan seorang supir taksi dapat mempraktikkan kejujuran dalam kesehariannya," ujar Anies.
Menurut Anies, sikap kejujuran itu sangat diperlukan dan harus dimiliki setiap orang di negeri ini, baik orang tua maupun anak-anak, demi meningkatkan mutu kehidupan di Indonesia. Terlebih bagi para orang tua dan pengajar, ia berharap anak-anak dapat mulai ditanamkan pelajaran dan perilaku jujur, agar menjadi sebuah kebudayaan di masa depan.
Anies menegaskan sikap jujur yang ia saksikan di Jepang sudah memberikan penjelasan gamblang, kalau kejujuran sangat indah dilakukan oleh siapa saja dan diberlakukan kepada siapa saja. Ia menambahkan, kejujuran yang ditunjukkan supir taksi merupakan bukti betapa pentingnya kejujuran menjadi pendidikan, dan bagaimana kejujuran bermanfaat bagi kehidupan.
"Ini hasil pendidikan," ucap Anies menegaskan.