REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Aria Indrawati mengaku sangat menyayangkan adanya diskriminasi terhadap penyandang tunanetra selama pelaksanaan ujian nasional (UN). Fenomena ini sepertinya terus terjadi secara berulang setiap tahunnya. “Diskriminasi tunanetra terus berulang setiap pergantian menteri, dari menteri ke menteri terus-terusan seperti ini,” kata Aria saat dihubungi wartawan, di Jakarta, Rabu (6/4).
Aria tidak menampik bahwa pengadaan soal diberikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ke daerah. Namun, pemerintah pusat tampak tidak memberikan mandat atau arahan penuh ke daerah. Dengan demikian, tidak seluruh daerah menyediakan naskah soal braille kepada para penyandang tunanetra.
“Sepertinya enggak ada aturan seperti itu, maka daerah pun seenaknya. Ini kesalahan fatal dari menteri ke menteri dan ini jelas diskriminasi,” tegas Aria.
Untuk bisa melaksanaan UN, Aria menerangkan, semua peserta UN jelas harus membaca soal, termasuk para penyandang tunanetra. Agar para tunanetra bisa melakukan hal sama, mereka tentu sangat membutuhkan naskah soal braille, bukan cetakan biasa. Apalagi, hal-hal ini sudah diatur di Indonesia berdasarkan Undang-Undang (UU) Penyandang Disabilitas yang baru saja disahkan DPR beberapa waktu lalu.
(Baca Juga: FSGI Ungkap Diskriminasi UN pada Peserta Tunanetra)
Dengan adanya informasi diskriminasi ini, Aria menyatakan akan mengmeriksa terlebih dahulu. Namun, dia tidak yakin pendapat Pertuni akan didengar oleh Kemendikbud. “Apakah kata Pertuni benar-benar didengar oleh pemerintah? Sepertinya menteri pendidikan tidak selalu melihatnya,” terang dia.
Sebelumnya, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkap, terdapat diskriminasi terhadap peserta tunanetra selama pelaksanaan ujian nasional (UN) berlangsung. Hal ini berdasarkan laporan yang diterima posko FSGI di Tasikmalaya, Kupang, Karawang, Medan, Mataram, Karanganyar, Sidoardjo, Makassar, dan Jakarta.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) FSGI Retno Listyarti menerangkan, para penyandang tunanetra mengalami kesulitan saat mengerjakan soal UN kertas pensil (UNKP). “Tidak ada ketersediaan soal UN braille bagi penyandang tunanetra,” kata Retno, Rabu (6/4).
Retno mengetahui benar bahwa soal UN braille memang mahal harganya, yakni diperkirakan Rp 500 ribu per soal. Namun, seharusnya tingginya harga tersebut tidak menjadi halangan bagi pemerintah. Menurut Retno, selama ini penyadang tunanetra harus dibacakan soalnya oleh pengawas. Akan tetapi, peserta tetap merasa kesulitan.