Kamis 07 Apr 2016 20:35 WIB

Kemendikbud Tolak Disebut Diskriminasikan Tunanetra Saat UN

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Ilham
Mendikbud Anies Baswedan
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Mendikbud Anies Baswedan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menolak disebut telah mendiskriminasikan penyandang tunanetra saat pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2016. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan mengklaim pihaknya sangat memperhatikan para tunanetra.

“Kita sangat perhatikan sekali,” kata Anies saat Konferensi Pers (Konpers) review pelaksanaan UN 2016 di tingkat SMA/sederajat di Gedung A, Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Senayan, Jakarta, Kamis (7/4).

Anies mencontohkan pemerintah Kota Surabaya yang telah melapor adanya sekolah inklusi pada Jumat sebelum pelaksanaan UN. Informasi ini tentu bisa membuat pusat menyiapkan dan mengantar soal tersebut ke daerah dengan sesegera mungkin. “Contoh Surabaya baru Jumat lapor ada siswa inklusi, kami siapkan dan antar soalnya Sabtu sampai di tempat,” jelasnya.

Menurut Anies, tidak meratanya soal braille ini diakibatkan lambatnya dinas pendidikan dalam melaporkan kebutuhan soal ini. Bahkan, bisa disebut hal ini terjadi karena permintaan tersebut tidak diajukan oleh daerah ke pusat. Karena itu, dia melanjutkan, masalah ini tidak seharusnya ditunjukkan ke pusat.

“Jangan buru-buru sebut diskriminatif, ini berat rasanya bagi tim yang selama ini telah bekerja untuk menyediakan soal UN braille,” tegas Anies.

Sebelumnya, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkap terdapat diskriminasi terhadap peserta tuna netra selama pelaksanaan Ujian Nasional (UN) berlangsung. Hal ini berdasarkan laporan yang diterima posko FSGI di Tasikmalaya, Kupang, Karawang, Medan, Mataram, Karanganyar, Sidoardjo, Makassar, dan Jakarta.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) FSGI, Retno Listyarti menerangkan, para penyandang tuna netra mengalami kesulitan saat mengerjakan soal UN Kertas Pensil (UNKP). “Tidak ada ketersediaan soal UN braile bagi penyandang tuna netra,” kata Retno dalam keterangan tertulisnya kepada Republika.co.id, Rabu (6/4).

Retno mengetahui benar bahwa soal UN braile memang mahal harganya, yakni diperkirakan Rp 500 ribu/soal. Namun seharusnya tingginya harga tersebut tidak menjadi halangan bagi pemerintah.

Menurut Retno, selama ini penyadang tuna netra harus dibacakan soalnya oleh pengawas. Akan tetapi peserta tetap merasa kesulitan karena soal-soal yang disertai gambar, simbol, dan grafik. Soal-soal demikian jelas tidak bisa dijelaskan si pengawas sehingga peserta tuna netra dipaksa berimajinasi.

“Dan hal ini jelas bentuk diskriminasi pemerintah terhadap penyandang disabilitas,” kata Retno.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement