Rabu 20 Apr 2016 10:52 WIB

Bappenas: Peningkatan Dana Pendidikan tak Sesuai dengan Hasil

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Achmad Syalaby
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Sofyan Djalil memberikan sambutannya dalam pembukaan rapat kerja PII periode 2015-2019 di Gedung Indosat, Jakarta, Jumat (18/3).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Sofyan Djalil memberikan sambutannya dalam pembukaan rapat kerja PII periode 2015-2019 di Gedung Indosat, Jakarta, Jumat (18/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Sofyan Djalil menilai, anggaran pendidikan terus meningkat sejak tahun 2008-2012‎. Peningkatan ini sekitar 20 persen dari anggaran di tahun 2008.

Peningkatan anggaran ini belum tercermin dari hasil dana pendidikan yang terus meningkat. Sebab pendidikan yang ada masih saja belum merata di seluruh daerah. Lulusan dari pendidikan ini pun masih belum bisa terserap secara baik oleh dunia industri karena minimnya keahlian para terdidik.

"Barangkali saat ini masalahnya bukan di anggaran. Tapi bagaiaman dana yang ada itu mencapai sasaran," kata Sofyan dalam  Musyawarah  Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Tahun 2016 di Jakarta, Rabu (20/4).

Selain itu, Sofyan melihat saat ini dana pendidikan masih terpusat di perkotaan. Hal tersebut membuat pendidikan di luar kota atau di pedesaan dan juga di pulau-pulau masih saja tertinggal.

Keberadaan guru yang menumpuk di perkotaan juga masih menjadi masalah. Di perkotaan sudah ada guru yang bisa hanya mengajar 12 siswa saja. Meskipun pemerataan guru di perkotaan juga belum seimbang karena tetap saja ada guru yang harus mengajar puluhan siswa setiap kelasnya. Namun, di pedesaan, guru yang lebih sedikit malahan harus mengajar murid yang cukup banyak.

Selain permasalahan dana dan guru yang hanya terfokus di perkotaan, Sofyan juga melihat bahwa kurikulum di Indonesia terlalu terpusat dan banyak. Di pedesaan misalnya, kurikulum pendidikan yang ada sudah tidak boleh disamakan dengan perkotaan. Sebab fasilitas dan kebutuhan siswa di pedesaan sudah pasti beda dengan anak-anak yang ada di perkotaan.

Masalah kurikulum juga dianggap terlalu banyak. Sehingga hal ini membuat otak siswa sulit fokus untuk meningkatkan ilmu yang sesuai dengan keinginginan mereka. Hasilnya malah banyak siswa menjadikan mencontek adalah hal lumrah."Kita harus berpikir lebih kreatif dalam menyelesaikan persoalan bangsa ini menjadi kewajiban bersama," papar Sofyan.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement