REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama sepuluh tahun terakhir terdapat 425 kasus korupsi di sektor pendidikan. Kasus tersebut menyebabkan negara rugi nilai suap mencapai dari Rp 55 miliar hingga Rp 1,3 triliun.
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah mulai memperbaiki sistem transaksi pembelian pengadaan. “Kita ada aturan yang sudah jelas untuk memperbaiki hal tersebut,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendikbud, Didik Suhardi kepada Republika.co.id, Rabu (18/5).
Pertama, kata Didi, Kemendikbud akan menerapkan elektronik purchase atau e-Purchase. Sistem pembelian secara elektronik ini nantinya pengadaan tidak perlu memakai konsep manual atau lelang. Tata kelola keuangan untuk pengadaan atau belanja secara dalam jaringan (daring) ini akan meningkatkan transparansi, baik uang maupun barangnya.
Selanjutnya, Kemendikbud juga akan mulai menerapkan mekanisme non tunai atau casheless. “Tidak ada yang menggunakan uang nantinya,” kata Didik. Upaya ini dilakukan untuk menghindari penyelewengan dana pendidikan di daerah.
Didik juga menerangkan, pihaknya juga siap untuk menyederhanakan petunjuk teknis (juknis) agar lebih fleksibel. Hal ini dilakukan agar sekolah lebih mudah melaksanakan pembelanjaan sesuai kepentingan dan kebutuhan sekolah. Kemudian pengelolaan yang dilakukan dinas pendidikan setempat juga diharapkan dapat semakin transparan.
Sebelumnya, Staf Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah menuturkan, terdapat lima objek dana yang paling banyak dikorupsi. Kelima objek dana tersebut adalah Dana Alokasi Khusus (DAK), dana sarana prasarana sekolah, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), infrastruktur sekolah, dan buku.
DAK dianggap menjadi objek dana yang paling banyak dikorupsi. Sebanyak 85 kasus korupsi DAK dalam 10 tahun terakhir dengan kerugian negara sebesar Rp 377 miliar.