REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sudah menjadi tradisi pada setiap perhelatan Konferensi Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia (HEPI) dianugerahkan Sumadi Suryabrata Award. Penghargaan tersebut diberikan kepada individu yang memiliki komitmen dan pengabdian dalam bidang evaluasi, penilaian, dan pengukuran pendidikan.
Ketua Umum HEPI Bahrul Hayat mengungkapkan, Sumadi Suryabrata Award tahun ini diberikan kepada Jahja Umar . “Hal itu atas dedikasi dan konstribusi luar biasa terhadap pengembangan evaluasi, penilaian, dan pengukuran pendidikan,” kata Bahrul Hayat melalui rilis, Senin (30/5).
Sumadi Suryabrata Award diserahkan di sela workshop dan konferensi internasional tentang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan yang diadakan oleh HEPI dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) di Yogyakarta, 30-31 Mei 2016.
Jahja Umar merupakan pakar psikometri dan pernah menjadi Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Kemdikbud yang telah membidani lahirnya ujian nasional (UN). UN di mata Jahja Umar merupakan kebijakan yang efektif dan efisien dalam meningkatkan mutu pendidikan jika dilaksanakan dengan benar, konsisten, dan totalitas.
Jahja meyakini, jika UN benar-benar dilakukan untuk mengukur pencapaian standar kompetensi lulusan, UN akan mampu meningkatkan semangat siswa dalam belajar, memotivasi guru dalam mengajar, dan menyemangati kepala sekolah dalam mengelola satuan pendidikan. Selain itu, mendorong peran serta orang tua untuk lebih peduli dengan kegiatan pembelajaran.
Jahja berpandangan, tidak ada proses pendidikan yg menyenangkan. Pendidikan itu butuh perjuangan. “Yang namanya perjuangan membutuhkan pengorbanan dan yang dikorbankan adalah hal-hal yang menyenangkan,” tutur Jahja.
Jadi, kata Jahja, tidak ada belajar menyenangkan yang membuat pintar. Yang ada adalah belajar yang penuh perjuangan yang akhirnya menjadi pintar. “Hal itu seperti pepatah berakit-rakit ke hulu bereneng-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian,” tambah Jahja.
Jahja menyayangkan UN belum benar-benar berfungsi sebagai penentu pencapaian standar kompetensi lulusan. Bagi Jahja, setiap kegiatan pengujian seperti UN mesti ada yang lulus dan ada yang belum lulus.
Jahja mengkhawatirkan UN perlahan akan semakin jauh meninggalkan khitah pendidikan berbasis standar dan makin tidak dihargai peserta didik dan pelaku pendidikan.
Senada dengan Jahja, Bahrul Hayat mengharapkan agar pemerintah konsisten dengan prinsip dan filosopi pendidikan berbasis standar dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Bahrul menegaskan, sesuai dengan Undang-Undang Sisdiknas, sistem pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan berbasis standar, salah satu alat ukurnya adalah UN.
"Jadi, UN harus benar-benar mampu membedakan mana kelompok siswa yang telah mencapai standar dan mana kelompok siswa yang belum mencapai standar,” tegas Bahrul.
Menurut Bahrul, UN yang hanya fokus terhadap pemetaan seperti saat ini dan dilakukan secara sensus kurang efektif dan terlalu mahal. “Jika pemerintah tetap menghendaki UN sebagai pemetaan, sebaiknya dilakukan secara sampling,” ujar Bahrul Hayat yang juga penasehat Indonesia Bermutu.