REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menerima laporan adanya dugaan pungutan liar (pungli) dan dugaan uang pelicin pada Peneriman Peserta Didik Baru (PPDB). Hal tersebut terjadi di Bekasi dan Medan. Kasus di Medan, sudah dilaporkan ke Ombudsman RI (ORI) setempat.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) FSGI, Retno Listyarti menerangkan, Posko FSGI di Kota Medan memang telah memantau berita adanya dugaan uang pelicin di MAN 1 Medan sebesar Rp 11 juta. "Kasus ini juga telah dilaporkan ke ORI perwakilan Sumatera Utara oleh pihak orangtua siswa yang anaknya tidak diterima seleksi di MAN I Medan," kata dia melalui keterangan persnya, Selasa (12/7).
Berdasarkan hasil penelusuran FSGI, kata dia, ternyata MAN 1 Medan memang menggunakan indikator penilaian yang seleksinya tidak hanya menggunakan hasil Ujian Nasional (UN). Indikator seleksinya, yakni 40 persen nilai UN, 40 persen nilai tes akademik (tes tertulis) dan 20 persen tes baca Alquran dan praktik ibadah.
Menurut Retno, sejak awal MAN 1 Medan mengumumkan daya tampung 365 siswa dan 60 di antaranya diterima melalui undangan. Namun karena desakan para orangtua siswa yang tidak diterima, maka MAN 1 kemudian memutuskan membuka dua kelas tambahan yang disebut jalur mandiri.
Orangtua siswa, Zulkarnaen juga ikut menerangkan bagaimana sekolah tersebut adanya pungli ini. Dia yang datang ke sekolah pada (25/6) lalu menjumpai Tata Usaha sekolah. Di sana sudah berkumpul 61 orangtua, yang anaknya mau dimasukkan ke kelas mandiri.
"Target mereka 80 orang. Mereka mau buka dua kelas tambahan. Di situlah diterangkan nominalnya. Kalau yang lulus resmi Rp 6 juta. Itu kata mereka untuk uang buku, uang baju, dan uang sekolah sekali bayar enam bulan, per bulan Rp 100 ribu. Kalau yang jalur mandiri bayar Rp 11 juta," ujar Zulkarnaen.
Untuk di wilayah Bekasi, FSGI juga menerima laporan masalah uang pelicin. Posko FSGI di Bekasi mengungkapkan, terdapat orangtua siswa yang mencurigai praktik uang pelicin karena sekolah negeri tempat anaknya mendaftar tidak hanya menggunakan nilai Ujian Nasional (UN) sebagai satu-satunya alat seleksi. Namun masih mengguakan ujian tertulis (tes) lokal sekolah yang terkadang mampu 'menyingkirkan' siswa yang nilainya UN-nya tinggi.