REPUBLIKA.CO.ID, Baru-baru ini Kementerian Pendidikan mengusulkan program full day school atau sekolah sepanjang hari. Pemerintah belum memaparkan model sekolah sepanjang hari akan seperti apa. Hanya disebut anak akan sekolah hingga pukul 17.00. Seluruh kegiatan luar sekolah seperti mengaji dan sebagainya akan dilakukan di sekolah, tujuannya pula supaya anak terhindar dari pergaulan atau aktivitas negatif.
Pertanyaannya, benarkan sekolah sepanjang hari positif bagi anak?
Psikolog keluarga dan anak, Roslina Verauli, mengatakan sebelumnya perlu dipahami dulu riwayat perpanjangan waktu sekolah, hingga sehati penuh. Program sekolah seharian ini tadinya muncul di beberapa negara sekitar tahun 80-an.
Di Amerika Serikat, program ini dulu diterapkan full day school atau after school program (program setelah sekolah), sejak dua dekade lalu. Riset kala itu menunjukkan ada peningkatan kenakalan remaja dari pukul 13.00 hingga 17.00, atau waktu mereka sudah tidak sekolah. Sehingga didoronglah kegiatan setelah sekolah.
Kegiatan setelah sekolah ini dikelola oleh pihak privat di luar sekolah maupun oleh sekolah itu sendiri. Kegiatannya macam-macam, mulai dari olahraga, seni, seni kreatif, bisa juga dengan kegiatan luar ruangan, dengan kegiatan ekskul, pelajaran tambahan, dan lainnya.
“Nah kenapa akhirnya dipandang menguntungkan karena mereka-mereka yang mempunyai orang tua bekerja ternyata diuntungkan karena pengasuhan anak digantikan atau diambil alih oleh sekolah,” ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa (9/8).
Sayangnya ada antitesis dari program ini, ternyata anak-anak yang ikut program ini punya orang tua yang cukup berada. Kegiatan sepulang sekolah ini lalu menimbulkan keluhan psikologis, depresi, dan kecemasan.
“Jadi apakah ini suatu privilege (keistimewaan) untuk anak-anak mereka mendapatkan suatu kegiatan ekstra, ternyata bukan, secara psikologis mereka jadi berproblem,” ujar dia.