REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekolah sehari penuh atau full day school dinilai sulit diterapkan karena harus melibatkan banyak aspek. Pengamat pendidikan Profesor Henry Alexis Rudolf (HAR) Tilaar mengemukakan, tak hanya melihat kemampuan siswa, aspek lain seperti kesiapan sekolah, kemapanan orangtua, dan ketersediaan tenaga pengajar juga harus dipersiapkan.
"Seharian di sekolah anak harus dikasih makan, kalau di negara maju tidak masalah, sudah disiapkan, tapi kalau di kita gimana? Itu yang harus dipertimbangkan. Mesti ditanggung negara atau sekolah?" ujar Tilaar, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (9/8).
Dalam aspek kemampuan siswa, kata dia, pemerintah harus mempertimbangkan interaksi anak dengan keluarga dan lingkungan di luar sekolah. Interaksi-interaksi tersebut yang tidak akan maksimal jika anak harus seharian berada di sekolah.
Ia menambahkan, hal terpenting lainnya adalah kesiapan tenaga kerja. Dengan adanya sistem sekolah sehari penuh, guru tentu juga dituntut untuk ada di sekolah setiap hari, dengan demikian pemerintah harus lebih menghargai guru dari segi kesejahteraan.
"Ini tidak hanya berkaitan dengan anak, tapi juga berkaitan dengan guru. Guru harus setiap hari ada di sekolah, jadi dia harus dihargai lebih, selain itu mereka juga kan punya anak," ungkapnya.
Menurutnya, kondisi demikian mungkin dengan mudah bisa dicapai di negara-negara maju, namun tidak di Indonesia. Di negara barat, tambahnya, sekolah bisa disebut menyenangkan karena memiliki fasilitas yang sangat memadai, dengan guru berpenghasilan tinggi dan orangtua siswa yang berada.
"Jadi banyak aspek yang harus diperhitungkan. Berbeda dengan negara yang sudah maju dan sudah teratur," jelas Tilaar.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendi sebelumnya melontarkan wacana sekolah sehari penuh atau full day school yang saat ini masih dalam kajian. Menurutnya, full day school ini bukan berarti peserta didik belajar seharian di sekolah.
"Tetapi memastikan bahwa peserta didik dapat mengikuti kegiatan-kegiatan penanaman pendidikan karakter, seperti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Saat ini sistem belajar tersebut masih dalam pengkajian lebih mendalam,” ujar Muhadjir, di Jakarta, Senin (8/8).