REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Tengku Zulkarnain mengatakan, jika sekolah nasional hanya memberikan pelajaran agama dua jam dalam satu minggu, kemudian mengambil waktu anak-anak muslim Indonesia dengan penerapan full day school, maka anak-anak kaum muslimin tak bisa mendapatkan pelajaran agama Islam secara lebih mendalam di sore hari.
"Anak-anak muslim di sejumlah provinsi di Indonesia pada sore hari sekolah diniyah, mereka belajar ilmu diniyah seperti akidah, akhlak, tarikh, hadis, dan lain-lain yang hanya bisa didapatkan dari sekolah diniyah. Kalau sekolah nasional menerapkan full day school, kapan mereka bisa sekolah diniyah," katanya, Senin, (9/8).
Memang ada permasalahan di kota-kota besar di mana ibu dan bapak mayoritas keduanya bekerja mencari nafkah seharian. Akibatnya mereka merasa terbantu jika anak-anak mereka seharian penuh berada di sekolah pada siang hari. "Full day school akan membantu menyelesaikan beban mereka sebagai orang tua yang berkarier dan tinggal di kota-kota besar," ujar Tengku.
Namun banyak orang tua di desa-desa justru memerlukan kehadiran anak di rumah pada sore hari. Anak-anak di desa dididik orangtuanya sendiri agar terampil bekerja sekaligus membantu orang tuanya. Misalnya, terang Tengku, para orang tua yang berprofesi sebagai tukang kayu. Pasti mereka ingin mendidik dan menurunkan ilmu keterampilan pertukangannya kepada anak-anaknya.
Dengan diwajibkan full day school, jelas dia, orang tua tak memiliki kesempatan mendidik anaknya jadi tukang kayu. Jadi memukul rata masalah perkotaan yang jelas berbeda dengan masalah di pedesaan sangat tidak cocok. Apalagi kemudian secara nasional memberlakukannya merata di seluruh wilayah Indonesia. Ini merupakan tindakan yang tidak tepat.
Apalagi, lanjut Tengku, jika program ini diterapkan secara terburu-buru tanpa mendengar terlebih dahulu aspirasi para pakar pendidikan, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan para orang tua murid yang merasakan langsung dampak dari full day school itu