REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat pendidikan Darmaningtyas mengungkapkan sekolah sehari penuh atau full day school berpotensi menimbulkan kebosanan pada anak. Anak yang diharapkan akan produktif justru akan cepat lelah dan tidak memiliki kesempatan berinteraksi dengan dunia luar.
"Sampai di rumah sudah capek akhirnya langsung istirahat sehingga tidak punya kesempatan lagi berkomunikasi dengan orang tua dan kawan sebaya di lingkungan tempat tinggalnya," ucap Darmaningtyas kepada Republika.co.id.
Padahal menurutnya, dunia anak tidak hanya berada di dalam sekolah. Di banyak tempat, sejumlah anak ada yang belajar di dua tempat, yaitu di sekolah umum pada pagi hari dan di madrasah diniyah atau bahkan di pondok pesantren pada sore hari.
Ia menuturkan, adanya sistem sekolah sehari penuh membuat anak harus berada di sekolah seharian. Dengan demikian mereka akan meninggalkan proses belajar di madrasah diniyah atau ponpes. Padahal dua tempat tersebut juga sebagai tempat menimba ilmu dan membentuk karakter anak.
Jam sekolah yang diperbanyak menjadi satu hari penuh, juga menambah beban guru. Terlebih jika pemerintah tidak memberikan perhatian lebih kepada guru dalam aspek kesejahteraan.
"Kalau guru bertugas sampai sore, apakah ada tambahan kesejahteraan guru? Bila tidak sama saja menciptakan beban baru bagi guru," ujar Darmaningtyas.
Meski ada tambahan kesejahteraan, menurutnya, guru belum tentu kuat melaksanakan tanggung jawabnya setiap hari sekolah selama satu hari penuh. Guru merupakan profesi yang berbeda dengan pegawai lainnya. Sepulang dari sekolah, kata dia, seorang guru harus menyiapkan materi untuk esok hari, membaca buku untuk update pengetahuan, mengerjakan administrasi sekolah dan sejenisnya.
"Jika guru harus di sekolah sampai sore hari, tentu mereka akan mengorbankan pekerjaan-pekerjaan lainnya seperti itu," tuturnya.