Jumat 26 Aug 2016 13:55 WIB

Sekolah Seharian Butuh Kajian Filosofi, Konsep, dan Teknis Mendalam

Para pengurus dan peneliti Indonesia Bermutu berfoto bersama dengan Kakanwil Kemenag DKI Abdurrahman.
Foto: Dok IB
Para pengurus dan peneliti Indonesia Bermutu berfoto bersama dengan Kakanwil Kemenag DKI Abdurrahman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Mendikbud Muhadjir Efendi menggulirkan wacana  ke publik tentang sekolah seharian (full day school). Ide ini, menurut Muhadjir,  erat kaitannya dengan pembentukan karakter siswa yang bermutu.

Gayung bersambut,  kontan ide sekolah seharian ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan dengan latar belakang dan kepentingan yang berbeda. Ide inipun telah menjadi bahasan pada sawala (diskusi) mingguan Indonesia Bermutu.

Pakar psikologi pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta Awaluddin Tjalla menyarankan agar Kemdikbud terlebih dahulu melakukan kajian mendalam tentang pilosofi, konsep, dan teknis sekolah seharian dilihat dari berbagai perspektif kehidupan peserta didik dan  keluarga. "Keluarga sejatinya sebagai motor utama dalam perkembangan kehidupan anak menuju kedewasaan termasuk pendidikan yang bermutu bagi anak," kata Awal pada diskusi mingguan Indonesia Bermutu di Jakarta, Kamis (25/8/2016).

Awal mengingatkan, hasil-hasil studi internasional semisal studi PISA dan TIMSS tentang  lama waktu belajar tidak berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar peserta didik bila tidak dibarengi dengan peningkatan mutu guru, bahan pembelajaran, dan metode pembelajaran yang inspiratif, kreatif, dan tidak membosankan.

"Belum lagi kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki para pendidik untuk memberikan materi yang bermakna dalam kegiatan pembelajaran dan layanan bimbingan dalam mengoptimalkan berbagai kebutuhan untuk perkembangan secara holistik dari peserta didik," tambah Awal.

Peneliti Indonesia Bermutu  Heri Kurniawan  menyambut baik keinginan Muhadjir memberlakukan kebijakan sekolah seharian. Menurut Heri, semangat sekolah seharian sejalan dan menguatkan  prinsip bahwa setiap ruang dan waktu adalah sekolah. Bahkan Heri menantang Kemdikbud untuk berani mengedukasi masyarakat agar berkomitmen untuk sekolah sepanjang hayat, 24 Jam setiap hari.

Namun jika sekolah seharian hanya dimaknai sempit dan dibatasi dimensi waktu dan ruang serta formalistik dibenturkan dengan adanya siswa belajar, guru mengajar, jam pelajaran, beban belajar, bahan ajar, kurikulum, ruang kelas, Heri khawatir sekolah seharian hanya mesin bukan nilai-nilai yang hidup.

Dihubungi secara terpisah Agung Purwono, orang tua siswa,  mengharapkan agar sekolah seharian hanya sebagai pilihan bukan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap sekolah di seluruh Indonesia. Agung menyarankan agar Mendikbud memiliki peta kebutuhan implementasi sekolah seharian yang mampu memotret dan mengategorikan dengan tepat dan cermat mana sekolah yang tepat dikenai kebijakan sekolah seharian.

Senada dengan Heri, bagi peneliti Indonesia Bermutu Afrizal Sinaro, sekolah seharian mesti difokuskan sebagai upaya agar murid, guru, orang tua menjadi pembelajar sepanjang hayat. Khusus guru, Afrizal berpesan," guru yang sudah berhenti belajar, sebaiknya segera berhenti mengajar."

Mengakhiri sawala IB,  Ketua Jabar Bermutu Rahmat Syehani menyimpulkan faktor kunci yang harus segera dirumuskan Pemerintah berkaitan dengan kebijakan sekolah seharian. Menurut Rahmat, faktor kunci tersebut berkaitan dengan aktivitas yang bermakna bagi ekosistem sekolah seharian, program sekolah seharian yang bermutu, dan ketersediaan nurani serta sumber daya Pemerintah yang bermutu. Jika Pemerintah abai terhadap faktor-faktor kunci ini, Rahmat haqul yakin sekolah seharian hanyalah sebuah wacana penuh dilema.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement