REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak 2015, hasil ujian Nasional (UN) bukan lagi menjadi persyaratan penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Hasil UN tetap dijadikan sebagai referensi untuk melanjutkan pendidikan, pemetaan, dan pembinaan.
UN bukan sebagai penentu kelulusan bagi peserta didik diyakini oleh sebagian orang telah mengancam eksistensi UN. Hal ini diperkuat oleh keinginan Mendikbud Muhadjir Effendy untuk mengkaji UN.
Bagi Mendikbud jika UN bukan lagi penentu kelulusan dan hanya sebagai pemetaan. UN yang seperti saat ini perlu dikaji dari sisi efektivitas, efisiensi, dan kredibilitasnya.
Indonesia Bermutu (IB) menyambut baik keinginan Mendikbud untuk mengkaji kembali UN. “IB meyakini Mendikbud memiliki niat yang jernih dan mata yang luas untuk melihat UN dari sisi empiris, yuridis, akademis, dan nasionalis serta Nawacita Jokowi-JK. IB sangat yakin keinginan Mendikbud untuk mengkaji UN adalah ikhtiar untuk mengembalikan kredibilitas UN,” kata pendiri Indonesia Bermutu pada diskusi rutin (Sawala) IB di Jakarta, Kamis (20/10/2016) dalam rilis yang dikirimkan kepada Republika.co.id, Jumat (21/10/2016).
Senada dengan Burhan, Penasehat IB dan Katua Umum Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia (HEPI) Bahrul Hayat, memandang UN masih diperlukan dengan berbagai penyempurnaan dan penguatan fungsi UN. Menurut Bahrul, UN harus diarahkan untuk memperoleh sertifikat pendidikan nasional yang mengukur capaian standar kompetensi lulusan (SKL).
“Pencapaian SKL tidak bisa dilakukan dengan survei karena hal itu merupakan utang Pemerintah yang wajib dilunasi pada setiap peserta didik yang menempuh sistem pendidikan nasioanal yang sama,” tegas Bahrul pada kesempatan yang sama.
Dosen Uhamka Hari Setiadi menyayangkan langkah pemerintah yang telah mengamputasi fungsi UN sebagai salah satu pertimbangan kelulusan. “Salah satu upaya untuk mengembalikan marwah UN adalah mengembalikan UN sebagai pertimbangan kelulusan,” usul Hari. Bagi Hari, ujian yang 100 persen pesertanya lulus sama buruknya dengan ujian yang 100 persen pesertanya tidak lulus.
Peneliti IB Zulfikri Anas mengingatkan agar sebuah keputusan nasional diambil bukan untuk “menyejukkan” hati orang-orang yang “galau” dan menyangsikan hasil pendidikannya sendiri. Menurut Zul, sebetulnya yang membuat orang jatuh bukan karena ujiannya. “Yang membuat ia jatuh tersungkur adalah tingkat penguasaan atau pencapaian kompetensinya,” tuturnya.
Masih menurut Zulfikri, ujian bukan untuk menjatuhkan, menjegal, atau menggagalkan orang, tapi untuk memastikan bahwa yang bersangkutan dan semua orang-orang yang ada di sekitarnya melakukan proses dengan benar. "Jika proses pembelajaran dilakukan dengan benar, semua kita yang terlibat di dunia pendidikan mempersiapkan segalanya dengan baik, disertai niat yang tulus dari hati nurani dan keikhlasan yang “full”, tentunya kita dan anak kita tidak takut diuji oleh siapapun," ungkap Zulfikri.
Menurut Direktur Institut IB, Jaka Warsihna, hakikat manusia tidak boleh lari dari ujian. “Kita sering mengatakan ‘sanggup menerima ujian dari-Mu ya Allah’ yang membuktikan bahwa diuji Illahi saja kita telah menyanggupi, mosok diuji oleh sesama manusia aja takut?” ujar Jaka Warsihna.
Pegiat literasi membaca Indonesia Afrizak Sinaro mempertanyakan siapakah sesungguhnya yang takut diuji: siswanya, atau orang-orang yang berada di sekitar siswa yang menyangsikan akan kebenaran atau keakuratan, atau keampuhannya dalam menjalankan misi mulia pendidikan sehinga mengakibatkan proses belajar yang sesungguhnya tidak pernah terjadi?
Untuk itu, menurut Afrizal, orang yang paling bertanggung jawab untuk membayar kegagalan anak di UN adalah orang-orang yang selalu tersenyum bahagia menikmati indahnya kekuasaan, empuknya kursi yang ia duduki, sejuknya AC yang menerpa tubuhnya setiap saat. "Merekalah orang-orang yang menikmati indahnya hidup tanpa tantangan, indahnya laut tanpa gelombang, santainya ujian tanpa kelulusan," kata afrizal.
Pendiri IB, Deni Hadiana mengajak Mendikbud dan semua pihak untuk menjadikan UN sebagai ajang pembuktian bahwa kita memang “hadir” di tengah-tengah anak dan terus mendampingi agar mereka menjadi generasi pembelajar yang berani menantang orang di luar sana “ujilah saya!” “Mengembalikan marwah UN adalah pilihan cerdas,” ungkap Deni Hadiana.