REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenrisetdikti) mendorong perguruan tinggi baik negeri (PTN) dan (PTS) swasta meningkatkan publikasi risetnya. Pemerintah menilai hingga kini publikasi riset nasional di PTN dan PTS di Indonesia masih rendah.
"Publikasi harus makin baik. Profesor tiap tahun harus melakukan publikasi riset, sementara rektor kepala dua tahun sekali," ujar Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir di Yogyakarta, Ahad (4/12).
Evaluasi riset tersebut akan diimplementasikan mulai tahun depan. Apabila tidak dilakukan atau tidak sesuai, maka Kemenristekdikti akan memikirkan sebuah sanksi. "Akan kami pikirkan, apakah tunjangan kehormatan akan diberhentikan atau bagaimana," kata Nasir.
Selama ini, problem yang membelit publikasi riset diantaranya pertanggungjawaban dana riset yang begitu berat sehingga dosen enggan melakukannya. Hal tersebut, kata Nasir, harus segera diperbaiki. Menurut dia, jika Indonesia ingin menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas dan memenangkan persaingan global, maka hal yang perlu diperhatikan yakni pelatihan pendidikan tinggi.
Hal itu bisa menjadi baik apabila perguruan tinggi mampu menghasilkan riset di bidang sains dan teknologi. Suatu negara, kata dia, sangat memerlukan sains dan teknologi untuk memenangkan persaingan global. Meski begitu, bukan berarti ilmu sosial tidak penting. Ilmu sosial tak bisa dilepaskan kaitannya dengan sains dan teknologi.
PTN maupun PTS juga diharapkan dapat meningkatkan tenaga terdidik dan terampil. Nasir menyoroti jumlah dosen yang belum bergelar doktor atau profesor. Dosen yang berada di level 'kepala' di perguruan tinggi di Indonesia ada sekitar 21.500 orang, sementara yang bergelar profesor ada 6 ribu orang, sehingga total 27.500 orang.
"27.500 ini produktivitas publikasinya berapa setahun? Yang terjadi di data kami antiklimaks. Begitu sudah profesor jadi datar. Saya lihat ini berarti akan mengalami kevakuman dalam publikasi," ujarnya.