REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktisi dan pengamat pendidikan, Itje Chodidjah berharap Presiden Joko Widodo bisa lebih jernih mempertimbangkan moratorium ujian nasional (UN) yang diusulkan Mendikbud Muhadjir Effendy. Itje menilai UN telah merusak sendi-sendi utama pendidikan.
Menurutnya anak-anak di seluruh Indonesia dididik dengan cara yang berbeda-beda tapi diuji dengan cara yang sama. Anak-anak yang tinggal di kota besar, kata Itje, dengan akses informasi yang lebih mudah dengan anak yang berada dipendalaman diuji dengan alat yang sama. Akhirnya, tambah Itje, para guru mati-matian membuat nilai nasional siswa baik.
"Seharusnya pendidikan itu mengutamakan anak-anak, mengutamakan kepentingan peserta didik, apalagi saat ini di abad 21 kebutuhan anak-anak mampu berfikir kritis, kreatif sangat tinggi, sehingga apabila fokus beralih pada Ujian Nasional tentu saja anak-anak kita akan ketinggalan dalam berbagai hal," katanya, Kamis (8/12).
Perhatian pendidikan peserta didik, kata Itje, bukan pada kemampuan tetapi pada UN. Itje menambahkan pemerintah seharusnya melakukan kajian lebih mendalam lagi, kemudian paham UN sudah merusak sendi-sendi utama pendidikan. Banyak negara yang menggunakan UN, menurut Itje, bukan alasan yang tepat untuk mempertahankan UN.
Ia mengatakan banyak hal yang harusnya diperhatikan seperti proses mendidik, keterjaminan pengaturan proses berbagai tempat, dan meratanya kualitas guru di negara-negara tersebut.
Kualitas guru di Indonesia, menurutnya masih tidak merata. Karena belum ada jaminan kualitas guru. Selain itu sarana dan pra-sarana sekolah masih banyak yang sangat buruk. Menurut Itje mestinya hal-hal tersebut yang harus menjadi perhatian bukannya UN.
"Dan juga begini Ujian Nasional yang ingin dikendalikan pada fungsinya yaitu pada memetakan kemampuan sekolah, jadi memetakan sekolah bukan anak-anak. Maka itu bisa dilaksanakan tanpa sedikit pun menentukan apa-apa," jelasnya.
Dengan cari itu, kata Itje, mungkin bisa dilihat UN diperlukan untuk melihat kualitas sekolah-sekolah tertentu. Kemudian digunakan untuk membantu sekolah-sekolah tersebut meningkatkan kualitasnya.
"Kita kan bingung ini, kualitas sekolah satu sama lain berbeda, kemudian ujian dipaksakan sama. Ini kalau misalnya ada kekurangan, wajar. Karena semua masih ingin dikatakan lulus. Yang nama ujian taruhannya adalah luluskan," katanya.