REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) membahas empat dari 31 isu tumbuh kembang anak dengan 2.000-an pelajar se-Jabodetabek. Masing-masing, yakni, pembatasan konsumsi gula, garam dan lemak (GGL), bahaya rokok, hentikan perkawinan anak, serta pemahaman tertib lalu lintas. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemenuhan hak anak atas kesehatan dan kesejahteraan khususnya pada generasi Z.
"Kita ingin anak-anak pahami empat isu ini. Generasi Z ini yang mau kita berikan pemahaman, jadi pelopor agen perubahan dan pelapor saat mereka bisa pahami ini," kata Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Leny Nurhayanti Rosalin di Jakarta, Selasa (20/12).
Ia menjabarkan, isu pemahaman konsumsi gula, garam dan lemak berhubungan dengan banyaknya kasus gizi buruk, gizi kurang dang malnutrisi. Ia menyebut, saat ini makanan yang dikonsumsi anak-anak kurang tepat. Sebab, anak-anak cenderung suka makanan cepat saji atau junk food dibanding mengkonsumsi buah dan sayur.
Menurutnya, orang-orang yang kerap mengkonsumsi makanan yang mengandung gula, garam dan lemak berlebih lebih berpotensi terkena penyakit jantung, darah tinggi dan sebagainya. "Bayangkan, anak-anak kita, kalau memiliki gizi kurang baik, maka anak yang dilahirkan juga kurang gizi. Kita coba upaya promotif dan preventif," ujar Leny.
Kedua, bahaya rokok berhubungan dengan prevalensi perokok muda meningkat dua kali lipat dalam 20 tahun terakhir. Menurut Leny, kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan. Sebab, iklan iklan layanan rokok semakin mudah ditemui, sementara anak-anak belim diberikan pemahaman tentang bahaya rokok.
"Meskipun mereka bukan perokok aktif, tapi perokok pasif. Kita berikan pemahaman dari sisi medis, bahwa rokok dapat menggerus anak bangsa," jelasnya.
Ketiga, hentikan perkawinan anak. Leny menjelaskan, Indonesia menduduki peringkat kedua se-Asean untuk jumlah perkawinan anak tertinggi. Ia menyebut, satu dari enam anak Indonesia telah menikah di usia anak.
"Bayangkan SDM yang akan dihasilkan, masih anak punya anak. Belum lagi jika mengalami KDRT. Karena masih muda juga punya resiko angka kematian bayi dan ibu melahirkan," ujarnya.
Tingginya angka perkawinan anak membuatnya khawatir dengan kualitas anak yang dilahirkan dari anak. "Kalau cerai umur muda, jadi janda usia anak. Kita mau punya SDM seperti apa. Sehingga kita berikan pemahaman," ucap dia.
Leny mengatakan, bahaya pernikahan anak telah disadari oleh sjumlah kepala daerah. Sehingga, belum lama ini, sebanyak 25 pempinan kabupaten/kota menandatangani komitmen menekan pernikahan anak di daerahnya.
"Kita minta semua kabupaten/kota layak anak pada 2030 karena bagian dari hak asasi manusia. Pimpinan daerah menyadari dampak negatifnya, seperti, besarnya angka kemiskinan, SDM tak berkualitas sehingga menyebabkan mereka tak kompetitif," tutur Leny.