REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia kekurangan tenaga insyinyur. Kondisi ini terjadi akibat program studi di perguruan tinggi, tumbuh tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan Indonesia.
"Dan ini jadi masalah bertahun-tahun," kata Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti Ali Ghufron, Selasa (20/12). Indonesia saat ini ingin mempercepat pembangunan infrastruktur di mana-mana. Padahal, bila ingin mempercepat pembangunan infrastruktur, maka insinyurnya harus banyak, sementara saat ini kekurangan.
Dikatakannya, pada 2016 dibutuhkan 34 ribu insinyur, 2017 dibutuhkan 72 ribu insinyur, 2018 dibutuhkan 87 ribu insinyur, dan 2019 dibutuhkan 96 ribu insinyur. Sementara pada 2015 sarjana teknik berjumlah 15.258 orang, 2016 sarjana teknik berjumlah 17.092 orang, 2017 sebanyak 18.273, 2018 sebanyak 19.454, dan 2019 sebanyak 20.635.
"Jumlah lulusan teknik tak seimbang dengan jumlah insinyur yang dibutuhkan. Akibatnya kekurangan insinyur juga semakin meningkat," ujar Ali. Namun sayangnya, malah yang kurang dibutuhkan lulusannya diproduksi terus-menerus. Akibatnya kekurangan makin meningkat.
Selama ini, 50 persen mahasiswa itu belajar ilmu sosial. Selain itu lulusan ilmu sosial juga sudah terlalu banyak. "Kalau negara ingin banyak membangun infrastruktur, termasuk gedung-gedung baru, maka insinyur harus diperbanyak," katanya
Orangtua, selama ini, juga sering bingung mau menyekolahkan anaknya di jurusan apa sebab kita tak mempunyai rencana induk. Rencana induk itu penting bagi arah pembangunan serta penyediaan SDM-nya sehingga orangtua bisa menyekolahkan anaknya di fakultas yang lulusannya sangat dibutuhkan.
Untuk meningkatkan jumlah insinyur pada 2025, mahasiswa teknik diharap naik 25 persen. Fakultas teknik diperkuat agar makin cepat pembangunan.
"Sarjana teknik juga didorong menjadi insinyur profesional untuk meningkatkan jumlah insinyur. Hal ini dilakukan dengan menjamin kesejahteraan profesi insinyur, memberikan insentif," kata Ali.
Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PPI) Hermanto Dardak mengatakan, selama ini dari 1.000 orang yang membangun infrastruktur, hanya tiga orang insinyur. Sementara di Singapura dari 1.000 orang yang membangun infrastruktur terdapat 28 insinyur. Hal ini menunjukkan kalau Indonesia benar-benar kekurangan insinyur. Makanya jumlah insinyur harus diperbanyak.