REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar pendidikan dari Universitas Paramadina, Andreas Tambah, mempertanyakan, rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) memberdayakan sejumlah satuan kerja untuk mencari dana bukan pajak. Pasalnya, fasilitas pendidikan merupakan tanggung jawab negara/pemerintah.
"Yang perlu diperhatikan adalah, keperuntukan dana, sasaran, teknis penghimpunan atau penyaluran dana," kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (25/1).
Ia mengingatkan, fasilitas pendidikan merupakan tanggung jawab negara/pemerintah. Ia menilai, dana yang berasal dari APBN sudah cukup besar, asalkan penggunaannya tepat guna dan sasaran.
Andreas menyebut, saat ini, banyak dana yang dibelanjakan untuk sarana prasarana (sarpras) yang mubazir, pemborosan dana BOP/BOS oleh sekolah seperti renovasi ringan dan pembuatan sarana lainnya sesuai dengan selera kepala sekolah.
Untuk sasaran atau sumber pendanaan, Andreas mempertanyakan, siapa yang diharapkan dapat memberikan donasi. Menurutnya, apabila yang diharapkan masyarakat luas dengan tingkat ekonomi lebih, hal tersebut bisa saja dilakukan.
Namun, apabila yang diharapkan dari CSR perusahaan, itu adalah sebuah kekeliruan. Alasannya, CSR adalah haknya masyarakat luas yang bersifat sosial, bukan pendidikan semata.
"Dan bila untuk pendidikan, maka sebaiknya untuk pihak swasta yang saat ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah," ujar Andreas.
Selain itu, dia meminta, adanya audit secara transparan dalam teknis penghimpunan dan pengelolaan. Sebab, kata dia, Kemdikbud dikenal sebagai salah satu kementerian terkorup.
"Peluang untuk dikorupsi tetap terbuka selama dikelola oleh orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Pemerintah harus menjamin transparansi terhadap masyarakat dalam pengelolaannya dan harus bersedia di audit oleh auditor independen/eksternal," tutur dia.