REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produksi kopi luwak masih jadi pekerjaan rumah yang bisa terus diekplorasi. Baru-baru ini, mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) menemukan cara produksi tanpa menyakiti hewan luwak.
Selama ini, sebagian besar produksi kopi dilakukan dengan mengandangkan luwak. Hal ini demi memudahkan pengumpulan biji kopi luwak yang sudah dipilah hewan. Namun nyatanya metode ini dinilai cukup menyakiti hewan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, Dairul Fuhron, mahasiswa Departemen Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Pertanian Bogor (IPB) menggagas sebuah metode baru. Metode yang digagas Mahasiswa Berprestasi peringkat III IPB 2017 ini merupakan metode yang tetap memperhatikan efisiensi pengumpulan kopi luwak serta metode yang tetap memperhatikan kesejahteraan luwak.
Fuhron mengungkapkan bahwa model perkebunan kopi luwak ini berdasarkan perkebunan buah tropis. Yakni adanya penyatuan dua usaha tani yaitu usaha kebun kopi dan usaha kopi luwak, sehingga luwak yang akan dilepas di kebun kopi yang sudah dikombinasikan dengan berbagai buah-buahan.
Kebun pun diberikan pagar pembatas sehingga luwak bisa hidup bebas di dalam kebun itu dan mencari makan sendiri. "Hasil metode baru ini tentu berbeda dengan metode lainnya yang menggunakan kandang sempit dan makanan yang terlalu banyak diberikan kopi sehingga luwak akan cepat tertekan," kata dia, dalam siaran pers IPB yang diterima Republika.co.id, Jumat (14/4).
Selain itu, dalam metode ini luwak juga dapat menyalurkan kebiasaannya yaitu memanjat batang pohon tinggi yang dimodifikasi dengan penempatan ideal pepohonan secara sistematis. Metode ini sudah diuji coba di Desa Belantih, Provinsi Bali.
Ia mengatakan pohon tinggi yang dapat ditempatkan secara sistematis ini adalah pepaya, pisang dan lengkeng karena dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 1.600 m di atas permukaan air laut.
"Perbandingan penghasilan yang akan didapatkan sebelum dan sesudah diterapkannya model ini juga berbeda sangat jauh," kata dia. Jika menggunakan model lama, pendapatan hanya sebesar Rp 11.259.500,- per minggu per satu hektar kebun.
Sedangkan setelah menerapkan metode baru maka estimasi pendapatan mencapai Rp 89.900.000,- per minggu per satu hektar kebun. Perbedaan yang siginifikan ini disebabkan penerapan kebebasan hewan namun tetap dalam aturan.
Menurutnya, perkebunan luas mampu memberikan kebebasan untuk luwak sehingga kopi luwak yang dihasilkan lebih optimal. Hasilnya juga tetap dapat dikatakan sebagai kopi luwak liar. "Pada akhirnya, untuk mewujudkan gagasan ini pun perlu adanya integrasi peran dari pemerintah lokal dan pemerintah pusat dalam meningkatkan sistem pertaniannya terlebih pada kopi luwak," kata Fuhron.