Selasa 09 May 2017 19:20 WIB

Pendidikan Berkualitas Belum Merata

Rep: Kabul Astuti/ Red: Andi Nur Aminah
Siswa mengikuti proses belajar mengajar oleh relawan pekerja Pertamina di SDN Tanjung Priok 2, Jakarta Utara, Senin (8/5).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Siswa mengikuti proses belajar mengajar oleh relawan pekerja Pertamina di SDN Tanjung Priok 2, Jakarta Utara, Senin (8/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendidikan berkualitas belum dapat diakses secara merata oleh masyarakat tidak mampu. Peneliti SMERU Research Institute, Heni Kurniasih, mengatakan ada indikasi perbedaan kualitas pendidikan antara siswa miskin dan siswa kaya. Tingkat ekonomi berkorelasi positif dengan kemampuan terhadap akses pendidikan berkualitas.

Hal itu salah satunya tampak dari akreditasi sekolah dan hasil Ujian Nasional (UN). "Kelompok masyarakat dengan pengeluaran perkapita lebih tinggi dari sisi ujian nasional cenderung hasilnya lebih tinggi, itu terjadi untuk SD, SMP, sampai SMA. Mereka mendapat akses pendidikan lebih baik. Dari data 1997-2000an, tidak ada banyak perubahan," kata Heni Kurniasih, di Jakarta, Selasa (9/5). 

Menurut Heni, masih ada beberapa tantangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ia mengatakan standar pelayanan minimum pendidikan belum tercapai. Dalam prakteknya, masih banyak sekolah yang mengalami kekurangan buku-buku teks, keterbatasan laboratorium, guru yang tidak memenuhi kualifikasi, serta kurangnya guru mata pelajaran.

Beban pembiayaan yang ditanggung oleh orang tua murid, khususnya pembiayaan sekolah menengah turut membatasi akses warga miskin terhadap pendidikan. Orang tua murid masih menjadi sumber dana utama. Kondisi ekonomi berpengaruh terhadap bagaimana orang tua memutuskan anaknya melanjutkan sekolah atau tidak. 

Kendati ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Heni mengatakan, orang tua masih harus menanggung biaya-biaya lain, seperti biaya pendaftaran ulang saat tahun ajaran baru, buku-buku, dan praktek lapangan. "Hasil penelitian di 10 kabupaten, ternyata keluarga miskin masih perlu berutang untuk membayar biaya-biaya tersebut," tutur Heni.

Peneliti senior SMERU Research Institute ini merekomendasikan agar pendidikan dapat menjangkau kelompok-kelompok yang masih memiliki masalah keterbatasan akses. Ia menyatakan bahwa masih ada tantangan pemenuhan akses. Siswa putus sekolah setelah kelas 5 SD tercatat masih tinggi, di samping itu tingkat ketidakhadiran siswa di sekolah akibat keterbatasan ekonomi juga tinggi.

Menurut Heni, siswa yang tidak dapat melanjutkan ke sekolah menengah dapat diidentifikasi antara lain dari kelompok nelayan, warga miskin, masyarakat di daerah terpencil, masyarakat adat, serta kelompok masyarakat yang belum melihat manfaat pendidikan. Ia menyatakan perlunya melibatkan partisipasi masyarakat untuk mengajak anak-anak putus sekolah kembali ke bangku sekolah.

Heni menambahkan, kualitas pengajaran yang rendah, tingginya tingkat absensi guru, dan kualifikasi minimum guru yang belum terpenuhi, juga pengaruh pada kualitas pendidikan siswa. Selain itu, persepsi pemangku kebijakan di daerah-daerah terhadap pendidikan perlu diubah. "Pemangku kebijakan terutama di daerah belum menempatkan kualitas sebagai prioritas tertinggi," ujar Heni.

Pakar pendidikan Universitas Paramadina Totok Amin Soefijanto juga menyebutkan akses siswa miskin terhadap pendidikan berkualitas masih kurang. Peningkatan mutu sekolah harus menjadi prioritas agar kesenjangan kualitas antarsekolah semakin kecil. Bentuk-bentuk, seperti charter school, entrusted school dan bundled school dapat menjadi alternatif yang dipertimbangkan.

Totok menilai perlunya akuntabilitas dan transparansi kuota siswa tidak mampu dalam penerimaan siswa baru karena sangat rawan penyimpangannya. Bantuan pemerintah dalam bidang pendidikan lebih efektif meningkatkan kesejahteraan masyarakat. "Intervensi ke sektor pendidikan dan kesehatan terbukti lebih efektif dibanding intervensi sembako, lapangan kerja, dan pinjaman bunga ringan," kata Totok.

Menurut Totok, kualitas guru perlu ditingkatkan untuk menunjang pembelajaran. Ia menyatakan ada masalah dalam hal distribusi guru di Indonesia. Dengan 50 juta siswa dan 250 ribu sekolah, Indonesia memiliki kurang lebih tiga juta guru. Rasio guru-siswa dalam skala makro sudah berlebih, namun di tingkat daerah-daerah kerap terjadi kekurangan.

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement