REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X, berharap kebijakan Lima Hari Sekolah (LHS) yang digulirkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy tidak dipaksakan menyeluruh melainkan menyesuaikan kesiapan masing-masing sekolah.
"Kalau, menurut saya, jangan diberlakukan semua, yang siap sajalah," kata Sultan saat ditemui di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Kamis.
Selain didukung dengan sarana dan prasarana sekolah yang memadai, penerapan sekolah lima hari tentunya harus didukung dengan kondisi kesiapan murid. "Muridnya juga harus siap. Kalau yang merasa siap, silakan saja. Tetapi kalau tidak siap, ya tidak," kata dia.
Menurut Sultan, orientasi sekolah lima hari yang menitikberatkan pada penguatan pendidikan karakter cukup baik. Namun demikian, penerapan kebijakan sekolah lima hari dengan delapan jam belajar di sekolah justru mengesampingkan kesempatan anak bergaul atau bersosialisasi di tengah masyarakat.
"Mestinya anak-anak itu diberikan kemudahan bergaul supaya mereka juga dibangun oleh masyarakat dalam kehidupan,'' katanya. ''Seseorang yang tidak pernah sosialisasi, tentu wawasannya terbatas.''
Agar seimbang, menurut Sultan, pendidikan karakter tidak hanya di sekolah, melainkan juga didapatkan dari keluarga dan masyarakat. Keluarga, menurut dia, merupakan entitas yang sangat efektif dalam pembentukan karakter anak seperti kejujuran serta menghargai orang lain.
''Masalahnya sekarang pernah tidak orang tua menanamkan kejujuran atau menghargai orang lain pada anak. Kalau tidak, ya berarti orang tua tidak pernah memberikan pendidikan karakter anak,'' kata dia.
Sementara Wali Kota Pekalongan, Achmad Alf Arslan Djunaid, berharap kebijakan lima hari sekolah selayaknya tidak diterapkan pada sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Ia khawatir penerapannya akan berimbas pada sekolah sore, seperti madrasah dan Tempat Pendidikan Alquran.