Rabu 28 Jun 2017 11:12 WIB

Sekolah Islam Swasta Membanjiri Malaysia

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Zahid Hamidi
Foto: Malaysia Insider
Zahid Hamidi

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Lebih dari 900 sekolah Islam swasta baru yang tersebar di seluruh Malaysia selama enam tahun terakhir. Hal itu turut dipengaruhi banyaknya orang tua yang merasa sekolah negeri yang tidak mampu membangun karakter, memperkuat agama, dan menanamkan nilai-nilai moral kepada anak-anak.

Dilansir dari Straits Times, Rabu (28/6), petugas senior Zulkifli Ahmad merasa, orang tua Malaysia merasa tak masalah soal biaya demi mendapatkan pendidikan terbaik. Ia lebih khawatir, jika anaknya dapat lingkungan sekolah yang dianggap banyak miliki pengaruh buruk.

"Anak-anak yang bersekolah tahfiz lebih sopan, taat dan memenuhi kewajiban keagamaan mereka," kata Ahmad.

Hal serupa diungkapkan Muhammad Shariff Azhari, Direktur di Matan Center yang mengelola tiga sekolah agama swasta, salah satunya Maahad Tahfiz An Nabawi. Ia mencatat, peristiwa di April lalu saat seorang administrator di sala satu sekolah di Johor yang menyiksa siswa turut memberi pengaruh besar.

"Masyarakat kembali ke agama dan sekarang ada permintaan untuk sekolah tahfiz," ujar Azhari.

Pendidikan di sekolah tahfiz memang berbeda, memiliki silabus sendiri dengan penekanan menghafal Alquran, dan berkontribusi atas meningkatnya jumlah guru agama di Malaysia. Lulusan lain memang tidak memilih jadi guru agama, melanjutkan sekolah di kampus Islam dan jadi imam atau pengacara syariah.

Sayang, masih ada lebih dari 600 sekolah tahfiz yang belum terdaftar, sehingga kualitasnya masih terbilang bervariasi. Ada sekolah yang berbiaya cukup tinggi tapi miliki manajemen baik, ada pula sekolah yang memiliki tipe pondok yang gratis dengan guru relawan.

Pemerintah Malaysia menyadari perlunya integrasi sekaligus pengawasan lebih ketat, dan tengah menyiapkan Kebijakan Pendidikan Tahfiz Nasional. Tapi, walau sekolah tahfiz telah didesak mendaftar ke departemen Islam, Wakil Perdana Menteri Zahid Hamidi menegaskan, tidak akan ada pemaksaan ke sekolah.

"Pendaftaran bukan untuk penegakan hukum, jika mereka tidak mendaftar, mereka tidak akan menerima bantuan dan siswa mungkin tidak dapat melanjutkan pendidikan tersier mereka," kata Zahid.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement