REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Premi Yigibalom mewakili optimisme masa depan anak-anak muda Papua di tengah keterpurukan indeks pembangunan manusia provinsi di ujung timur Indonesia itu.
Betapa tidak, pemuda kelahiran Distrik Goyage, Kabupaten Tolikara, 3 Mei 1997, ini masih bertahan bersama 17 orang rekannya dalam kawah candradimuka Institut Teknologi Del.
Di perguruan tinggi milik Yayasan Del yang dibangun Luhut Binsar Pandjaitan itu, Premi bersama rekan-rekannya sesama pemuda Kabupaten Tolikara mengikuti kelas khusus.
Kepada Antara yang menemuinya di kampus berlingkungan asri di tepi Danau Toba pada 17 Juni 2017, Premi mengatakan kelas khusus tersebut sudah diikutinya sejak pertengahan 2016.
Pada awalnya, jumlah mereka yang dikirim Pemerintah Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua, untuk menempuh pendidikan di Institut Teknologi Del itu mencapai 30 orang.
Namun, satu demi satu dari mereka "gugur" karena gagal memenuhi tuntutan akademik yang ketat atau karena faktor kesehatan sehingga terpaksa kembali ke Tolikara.
"Kini jumlah yang tersisa tinggal 18 orang," katanya, belum lama ini.
Di tengah tantangan dan tuntutan proses belajar-mengajar di kelas khusus menuju kuliah tingkat sarjana IT Del yang tak mudah, Premi Yigibalom berupaya bertahan.
Bahkan, pemuda murah senyum ini mengaku mempelajari dan mendapatkan banyak hal baru dari kehidupan akademik dan sosial kampus yang menerapkan sistem asrama ini.
Selain mendapatkan materi kelas khusus seperti pemantapan matematika serta keahlian pengembangan basis data dan laman (web), dia juga merasakan kekuatan budaya bertegur-sapa.
Budaya bertegur-sapa yang telah menjadi bagian dari karakter civitas akademika kampus yang semula bernama Politeknik Informatika Del itu juga dirasakan para tamu.
Kehadiran Premi Yigibalom dan belasan Pemuda Papua di lingkungan perguruan tinggi yang mayoritas mahasiswanya berasal dari Pulau Sumatera itu menambah kesemarakan keindonesian.
Namun, mendidik mereka agar dapat langsung mengikuti proses perkuliahan yang kompetitif bersama para mahasiswa IT Del belum memungkinkan jika tanpa melalui kelas khusus.
Seperti dikatakan Wakil Rektor 1 Bagian Akademik Dr Arnaldo Marulitua Sinaga, S.T, M.InfoTech, ketimpangan mutu pendidikan antara Provinsi Papua dan luar Papua begitu nyata.
Kemampuan matematika dari 30 lulusan SMA Kabupaten Tolikara yang mengikuti kelas khusus IT Del pada pertengahan 2016, misalnya, masih jauh dari level yang diharapkan, katanya.
Ketimpangan mutu pendidikan itu pun terlihat dari tingkat penguasaan bahasa Indonesia rata-rata Pemuda Papua yang dikirim belajar di perguruan tinggi bervisi "menjadi pusat keunggulan yang berperan dalam pemanfaatan teknologi bagi kemajuan bangsa" ini.
Menurut Arnaldo, ada di antara mereka yang belum lancar berbahasa Indonesia serta ada pula yang didera masalah kesehatan.
Namun kondisi ini tak menyurutkan semangat dan tekad para dosen dan pihak rektorat perguruan tinggi yang berdiri di desa kecil, Sitoluama, Kecamatan Laguboti, itu.
"Ini tantangan besar bagi kita. Saat ini, ada delapan belas orang yang bertahan," kata peraih gelar doktor dari Universitas Teknologi Swinburne, Australia ini.
Terhadap para pemuda Papua yang terpaksa kembali ke Tolikara, Arnaldo mengatakan pihaknya tidak pernah mengembalikan mereka.
"Kita tidak pernah mengembalikan mereka ke Tolikara. Kita justru berupaya berbuat yang terbaik. Dari segi skill (keterampilan), mereka cepat menangkap."
Dari 18 orang yang masih bertahan itu, setidaknya ada lima sampai enam orang yang prestasi akademiknya "menonjol" dan "bisa setara dengan para mahasiswa IT Del", katanya.