REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puluhan ribu ruang kelas sekolah dasar di Indonesia dalam kondisi memprihatinkan. Tidak hanya di daerah perbatasan atau pelosok-pelosok tanah air, melainkan juga sekolah dasar-sekolah dasar yang berada di dekat ibu kota Jakarta.
Direktur Pembinaan Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Wowon Widaryat mengungkapkan, pada 2017 ini Kemendikbud melakukan perbaikan terhadap 14.500 ruang kelas sekolah yang rusak di seluruh Indonesia.
Kriteria sekolah dasar yang layak menerima bantuan adalah yang memiliki ruang kelas dalam kondisi rusak berat dengan persentase tingkat kerusakan di atas 45 persen hingga 65 persen.
Wowon menyebutkan tata kelola sarana prasarana sekolah dasar menyerap anggaran paling besar, sekaligus paling banyak menuai masalah tiap tahun. Karena itu, pihaknya bertekad menyelesaikan masalah tata kelola sarpras agar pada tahun berikutnya sudah bisa fokus melakukan peningkatan mutu pembelajaran.
Menurut Wowon, perbaikan infrastruktur sekolah salah satunya terkendala data. Pemerintah mempunyai data jumlah sekolah, guru, dan murid, tapi tidak punya data yang mendukung sarpras. Mulai tahun 2016, ia mengaku telah melakukan pendataan sekolah rusak di seluruh pelosok tanah air dengan melibatkan 6.000 siswa Jurusan Teknik Bangunan dari 611 SMK.
Total ada 148 ribu sekolah dasar di seluruh Indonesia. Para siswa SMK Jurusan Teknik Bangunan ini melakukan pendataan ke lapangan, memotret tiap sudut bangunan, melakukan analisis kerusakan, kemudian mengunggahnya dalam sistem yang dimiliki Kemendikbud. Pendataan diprioritaskan dari wilayah pinggiran atau daerah 3T.
"Ada prioritas dari pinggiran dulu, kita sisir ke depan. Yang benar-benar parah kita prioritaskan. Dari data yang kami himpun ini sudah memotong birokrasi, sehingga tidak perlu lagi dengan proposal dari daerah," kata Wowon kepada Republika.co.id, di Gedung Kemendikbud Jakarta Pusat, Rabu (5/7).
Setelah pendataan selesai, hasilnya akan dikembalikan ke pemerintah daerah. Wowon mengungkapkan mayoritas pemerintah daerah sama sekali tidak punya data sekolah rusak. Pemerintah daerah yang punya data lengkap sangat sedikit.
Hal itu pula, menurut Wowon, yang membuat Dana Alokasi Khusus (DAK) tidak terserap oleh pemda. Mereka tidak punya data riil sehingga sasarannya tidak sesuai yang diharapkan.
Setelah didata, Wowon menuturkan, ternyata banyak sekolah di wilayah dekat ibukota Jakarta yang kondisi rusak parah. Antara lain, di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur Selatan. Begitu juga di wilayah pinggiran yang rata-rata tidak tersentuh. "Kita prioritaskan yang siswanya banyak, dan masyarakatnya membutuhkan," kata Wowon.
Wowon menerangkan, gedung-gedung sekolah dasar relatif mudah rusak karena bangunan SD zaman dulu menggunakan tipe C. Sementara, bangunan SMP, SMA/SMK menggunakan tipe B. Itulah mengapa satu bangunan SD lebih cepat rusak, meski dibangun bersamaan dengan SMP/SMA .
Menurut Wowon, pada zaman dulu bangunan SD dikategorikan tipe C atas dasar pertimbangan eselon yang menempati gedung tersebut. Kini, standar bangunan SD mulai diubah ke tipe B. Kemdikbud juga mengalokasikan bantuan untuk perbaikan sanitasi, kantin sehat, dan perpustakaan. Diketahui, hampir 70 persen SD tidak memiliki sanitasi yang layak.
Wowon mengungkapkan total anggaran yang disediakan pemerintah untuk rehabilitasi sekolah rusak sebesar Rp 1,4 triliun pada 2017. Sementara, dana yang dibutuhkan untuk memperbaiki seluruh sekolah rusak mencapai Rp 2-3 triliun. Anggaran dari Kemendikbud untuk tiap sekolah berbeda-beda, tergantung skala kerusakan.
Dari total bantuan tersebut, 94 persen dialokasikan untuk sasaran fisik perbaikan bangunan, 4 persen untuk tim perencana dan pengawas, serta 2 persen untuk keperluan administrasi. Jumlah sekolah yang diperbaiki pada 2017 lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2016, sekolah yang mendapat bantuan ada 4.000 unit dengan total anggaran Rp 360 miliar.
"Kita libatkan anak-anak SMK Jurusan Teknik Bangunan dan masyarakat lewat aplikasi JAGA KPK untuk melakukan pengawasan," imbuh Wowon. Hal ini untuk mengantisipasi penyelewengan dana pembangunan gedung. Pada 2016 saja, Wowon mencatat ada sembilan kepala sekolah di Sumatera Selatan yang harus berhadapan dengan meja pengadilan karena masalah keuangan ini.