Jumat 11 Aug 2017 06:06 WIB

Soal LHS, Kemenag: Perhatikan Aspirasi Masyarakat

Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenag Mastuki HS
Foto: istimewa
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenag Mastuki HS

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik penerapan lima hari sekolah (LHS) terus menguat. Aspirasi sebagian besar masyarakat meminta agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak menerapkan kebijakan yang tertuang dalam Permendikbud No 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Pemerintah juga sudah mengumumkan bahwa akan menaikan status aturan tentang hari sekolah ini dalam bentuk Peraturan Presiden, mengingat substansinya terkait dengan beberapa kementerian.

Akan hal itu, Kementerian Agama meminta agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaaan memperhatikan aspirasi yang berkembang di masyakarat. Hal ini ditegaskan oleh Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Data, dan Informasi Mastuki menyikapi menguatnya aspirasi penolakan kebijakan ini. Tidak hanya dari lembaga pendidikan keagamaan, aspirasi penolakan juga disuarakan oleh ormas keagamaan.

“Penerapan lima hari sekolah tak sesuai dengan karakteristik dan keragaman lembaga pendidikan di Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah pendidikan keagamaan yang sudah berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka,” ujarnya di Jakarta, Kamis (10/8).

Menurut Mastuki, karakteristik pendidikan keagamaan Islam di Indonesia sangat unik. Di samping beragam jenisnya, ciri pendidikan keagamaan itu adalah mandiri, berstatus swasta dan milik masyarakat. Kemenag mengelola dan bertanggung jawab terhadap berbagai lembaga pendidikan keagamaan itu, baik formal maupun non formal.  

Tiga di antaranya yang bersinggungan langsung dengan penerapan lima hari sekolah adalah madrasah, diniyah, dan pesantren. Pembelajaran di ketiga lembaga itu sangat unik, khas, dan berorientasi pada pembentukan karakter keislaman yang kental.

"Lima hari sekolah bukan hanya sulit diterapkan di madrasah, diniyah dan pesantren, tapi juga akan mengacaukan dan berakibat tumpang tindihnya pembelajaran di lembaga-lembaga ini. Makanya, kalau ada ormas Islam yang menolak lima hari sekolah, dapat dimengerti dari sisi ini," ucapnya.

Mastuki menilai, penerapan lima hari sekolah jika dipaksakan untuk diterapkan di semua lembaga pendidikan, selain tidak produktif juga akan mengeskalasi resistensi masyarakat terhadap pemerintah.

Data Kementerian Agama mencatat, setidaknya 233.949 lembaga pendidikan Islam yang berpotensi terkena imbas lima hari sekolah jika dipaksakan untuk diterapkan pada semua level. Dari jumlah itu, 14.293 pondok pesantren menyelenggarakan sekolah (SD/SMP/SMA/SMK) dan madrasah (MI/MTs/MA). Selain itu ada 84.796 Madrasah Diniyah Takmiliyah yang terancam bermasalah dengan pola pembelajaran 8 jam/sehari.

Mastuki menyarankan lima hari sekolah tidak dipaksakan kepada masyarakat. Dia berharap, Kemendikbud dapat menghargai inisiatif dan kontribusi pendidikan yang telah diselenggarakan masyarakat selama ini.

“Lebih baik fokus pada pembentukan karakter (character building) yang bisa diterima oleh semua pihak,” tuturnya.

Dikatakannya, pendidikan keagamaan Islam sangat kaya akan praktik pendidikan karakter atau akhlak ini. Hal yang sama ditemui di lembaga pendidikan keagamaan lainnya. "Nilai-nilai relijius yang telah menyatu dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini justru akan semakin kuat dan menemukan momentum jika ditopang oleh regulasi pemerintah," tandasnya.

sumber : kemenag.go.id
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement