Kamis 24 Aug 2017 17:00 WIB

Sekolah Harus Proaktif Terapkan Pendidikan Karakter

Rep: Kabul Astuti/ Red: Ratna Puspita
Sejumlah siswa-siswi murid baru kelas 1 mengikuti apel pada hari pertama masuk sekolah di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pejaten Barat 10 Pagi, Jakarta Selatan, Senin (10/7).
Foto: Mahmud Muhyidin
Sejumlah siswa-siswi murid baru kelas 1 mengikuti apel pada hari pertama masuk sekolah di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pejaten Barat 10 Pagi, Jakarta Selatan, Senin (10/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala sekolah harus proaktif dalam menerapkan gerakan Pendidikan Penguatan Karakter (PPK). Praktisi pendidikan Erry Utomo, mengatakan, tanpa sikap proaktif, keberhasilan PPK tidak akan maksimal karena minimnya peran masyarakat dan orang tua. 

Erry Utomo, yang pernah menjabat Kepala Pusat Perbukuan dan Kurikulum Kemendikbud RI ini mengatakan masih banyak kepala sekolah yang menganggap PPK hanya sebagai program tempelan. "Padahal bukan. PPK adalah satu gerakan di sekolah yang sebenarnya (tingkatan) praksis dari kurikulum itu," kata Erry, di Manado, Kamis (24/8).

Erry menerangkan PPK adalah suatu gerakan menyeluruh di lingkungan sekolah, yang didasarkan nilai-nilai praksis kurikulum pendidikan. Misalnya, anak diberi pengetahuan dan dibiasakan untuk tidak buang sampah sembarangan, berbudaya antri, dan hemat kertas. Perilaku ini merupakan nilai-nilai praksis kurikulum yang sangat mendasar.

Erry mengungkapkan, tujuan pembelajaran sebenarnya untuk memecahkan permasalahan yang ada di masyarakat. Tidak semata-mata pengetahuan secara murni, tapi bagaimana pengetahuan itu harus menjadi pembiasaan. Hanya saja, hal ini seringkali belum dipahami oleh pihak sekolah.

Menurut Erry, banyak kepala sekolah dan guru belum paham tataran praksis kurikulum di sekolah. Ini menjadi tantangan bagi Gerakan PPK. "Pembiasaan itu harus dikondisikan oleh sekolah, melalui berbagai kegiatan yang terprogram, pembiasaan yang terus-menerus," ujar dia.

Erry menegaskan, komitmen sekolah sangat diperlukan dalam menerapkan PPK. Kepala sekolah harus menguasai kompetensi manajerial, akademik, dan kewirausahaan. Dalam menerapkan PPK ini, sekolah dituntut berkolaborasi orang tua, komite sekolah, masyarakat, kepolisian, puskesmas, pemerintah daerah, bahkan dunia industri.

"Misalnya bagaimana kita melatih tari-tarian daerah dengan melibatkan sanggar yang ada di sekitar," kata dia. 

Hal itu agar kegiatan yang dapat ditawarkan kepada siswa semakin beragam. Sekolah tidak dapat berperan sendiri. Menurut Erry, peran seluruh ekosistem sekolah harus dioptimalkan, termasuk masyarakat.

Erry menegaskan, kepala sekolah dituntut proaktif menjalin jaringan. Karena, keterlibatan masyarakat sangat ditentukan pada kemampuan kepala sekolah dalam melakukan komunikasi. Lebih lanjut, Erry melihat perlunya pendampingan kepada sekolah dalam penerapan PPK dengan memanfaatkan learning community.

Kepala SDN 01 Lemito Gorontalo Yunizar R Tangahu mengaku mendapatkan pemahaman baru dalam penerapan PPK. Ia dapat berbagi pengalaman dan belajar dari sekolah-sekolah unggulan. Meski sudah menerapkan PPK, Yunizar melihat program-program yang ada di sekolahnya belum terarah.

"Kami akan buatkan program selanjutnya agar lebih terarah," ujarnya. 

Ia menjelaskan, penerapan PPK di SD N 01 Lemito sudah dilakukan lewat beberapa pembiasaan. Seperti, dia mencontohkan, berjabat tangan dan memberi salam, piket sekolah, serta membersihkan lingkungan.

Kepala SDN 06 Marisa Gorontalu Lilis Napu mengaku secara tersirat PPK sudah terlaksana di sekolahnya, tapi belum cukup terprogram. Ia berharap dapat melakukan studi banding ke Jakarta atau sekolah-sekolah lain yang sudan mapan dalam hal melaksanakan PPK, dengan jumlah siswa yang lebih besar.

Menurut Lilis, tantangan pelaksanaan PPK ada pada orang tua. "Kepedulian orang tua, karena bagaimanapun di sekolah menerapkan PPK kalau di lingkungan rumah orang tua tidak melanjutkan akan sama saja," ujar Lilis kepada Republika.

Lilis mencontohkan, banyak orang tua muridnya di SDN 06 Marisa yang bekerja sebagai pedagang dan nelayan. Mereka kurang punya waktu untuk memperhatikan anak sepulang dari sekolah. Rata-rata wawasan pendidikan orang tua juga rendah. Meski di sekolah anak diajarkan shalat, Lilis mencontohkan, jika orang tua di rumah tidak shalat maka tetap saja anak akan sulit dibiasakan shalat. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement