Ahad 29 Oct 2017 17:57 WIB

Tiga Kriteria Penilaian Buku Pendidikan Keagamaan

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agus Yulianto
Peserta membaca buku Keagamaan (Ilustrasi)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Peserta membaca buku Keagamaan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi dari Kementerian Agama (Kemenag) baru saja menyelenggarakan pembahasan hasil penilaian buku teks Pendidikan Agama Islam (PAI) pada jenjang pendidikan menegah. Ada tiga kriteria yang dipakai untuk melakukan penilaian terhadap buku pendidikan keagamaan.

Kapuslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi dari Kemenag Choirul Fuad Yusuf mengatakan, pertama, menggunakan kriteria yang sudah disusun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Yaitu yang dipakai BSNP. Dinilai dari sisi kelengkapan isi buku, kesesuaian isi buku dengan kurikulum, kelayakan penyajian dan grafik serta lain sebagainya.

"Kedua, untuk menilai buku pendidikan agama Islam khususnya, dipakai pedoman tadqiq," kata Choirul kepada Republika.co,id, Ahad (29/10).

Dikatakan dia, pedoman tadqiq berisi penilaian terhadap penulisan ayat suci dan hadis, penerjemahan Alquran dan hadis, kesesuaian dengan translitrasi arab-latin, dan sesuai dengan bahasa yang benar. Ketiga, kriteria ideodoktrinal yang terkait dengan ideologi dan doktrin (ajaran).

Kriteria ideodoktrinal mengukur dan menilai sejauh mana buku pendidikan agama sesuai dengan ideologi bangsa. Yaitu Pancasila, UUD 1945, prinsip Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. "Kemudian kesesuaian buku dengan ajaran agama itu sendiri, yang berlaku atau yang diterima di Indonesia, dalam hal ini agama Islam yang moderat, bukan agama yang radikal dan ekstrem," ujarnya.

Choirul juga menginformasikan, pernah ditemukan buku pendidikan agama yang isinya mengandung unsur radikal, intoleransi dan lain sebagainya. Pernah ditemukan buku yang menuliskan perlunya membangun dan memperkuat negara Islam dengan penerapan syariat Islam. Walau pun tidak dituliskan secara langsung. "Kalau ada buku seperti itu, kita coret saja," ujarnya.

Dia mencontohkan, misalnya buku menceritakan sejarah kebudayaan Islam, penerapan syariah dan hukum pancung di masa lalu. Nanti di bawahnya ada pesan perlunya menerapkan syariat Islam dengan sempurna, seperti hukum pancung.

Mekanismenya, ada dua penulis buku, pertama usulan dari penulis langsung. Kemudian diusulkan ke Kemendikbud, selanjutnya diterima. Setelah itu dinilai oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

"Ternyata yang menilai kurang cermat, maka lolos, maka bisa dipakai (buku itu). Baru kita nilai kembali walau sudah diabsahkan, ternyata masih banyak (kekurangannya)," ujarnya.

Yang kedua, penulis buku yang dikoordinir oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dari Kemenag. Setelah dinilai, ternyata tetap ditemukan buku-buku yang kurang bagus. Ia menegaskan, buku pendidikan agama, baik yang teks maupun non teks harus diawasi melalui penilaian kualitasnya. Agar diketahui kelayakannya sebelum digunakan di sekolah.

Dia menegaskan, kalau Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang penulisan, penilaian dan penerbitan buku pendidikan agama sudah jadi. Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi menjadi polisi perbukuan pendidikan agama.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement