REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengimbau seluruh guru dan tenaga kependidikan (GTK) di seluruh Indonesia, terus menunjukkan komitmennya untuk bebas dari pengaruh politik. Hal itu penting dilakukan, mengingat tahun 2019 adalah tahun politik, dan guru yang selalu menjadi korban politik.
"Beberapa waktu lalu, kami sudah sampaikan PGRI adalah kekuatan moral intelektual, basisnya profesionalisme guru. Jadi komitmen kami harus juga dicontoh oleh semua guru," kata Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi, Sabtu (25/11).
Unifah melanjutkan, PGRI juga telah berkoordinasi dan meminta agar kepala daerah tidak sekali-kali menarik guru ke dalam kepentingan politiknya. Karena itu, dari pribadi guru pun harus memiliki komitmen dan kesadaran untuk tidak terlibat dalam aktivitas politik.
"Nah, kesadaran ini yang kami sebut kesadaran kolektif. Kalau gurunya sadar secara kolektif, maka kita akan mandiri dan tidak ditarik ke sana kemari (kepentingan politik tertentu)," kata Unifah.
Dia mengungkapkan, hingga kini pun sebenarnya praktik politik dalam dunia pendidikan kerap terjadi. Misalnya, terkait redistribusi guru yang seringmkali nepotisme, hingga guru yang sering dijadikan sebagai perangkat birokrasi bukan profesi.
Karena itu, Unifah meminta semua pihak untuk tetap menjaga dan melindungi guru dan tenaga kependidikan agar tidak melulu dijadikan korban politik. Dengan begitu, laju pendidikan di Indonesia pun akan menjadi lebih maju dan berkembang.
Tiga persoalan
Pada bagian lain, Unifah menuturkan ada tiga persoalan yang perlu dievaluasi oleh pemerintah terkait guru. Pertama, persoalan kualitas guru yang belum merata. "Tapi, kita bisa berdiri sendiri. Banyak faktor lain, selain faktor gurunya, kebijakan yang berbelit-belit terkait tunjangan dan lainnya," ujar dia.
Kedua, saat ini Indonesia mengalami darurat guru atau kurang guru. Berdasarkan data Kemendikbud, sebanyak 44 persen posisi pengajar diisi oleh guru non-PNS. "Mereka dihitung jumlahnya tapi tidak diperhatikan baik kualitas maupun kesejahteraannya," ujar Unifah.
Ketiga, masalah kedaulatan guru. Unifah menilai posisi guru saat ini tidak berdaulat, jauh lebih baik posisi dosen. Sebab, kata Unifah, sistem dosen lebih mudah dan simpel.
Contoh untuk dosen, tunjangan profesi dosen melekat di gaji dibayar satu bulan setelahnya, dan terkait dengan kinerja yang dinilai oleh kepala program studi. Sedangkan guru harus melalui penilaian kepala sekolah dan dinas pendidikan, karena perlu ada pembagi pelajaran, kurikulum, dan lainnya.
"Kalau kita tunjangan profesi tiga bulan sekali saja aturan berubah-ubah bikin sulit. Belum lagi aturan kenaikan pangkat, harus pakai jurnal. Mau jadi profesor saja jurnalnya nggak bisa-bisa, apalagi guru," tuturnya.
Ketiga persoalan itulah yang menurut Unifah harus dibenahi oleh pemerintah dalam hal kesejahteraan guru. Ditambah lagi kesejahteraan guru honorer yang masih kurang. Kendati begitu, lanjut Unifah, pihaknya berharap agar para guru tidak menyerah dengan berbagai kondisi.
PGRI juga mendorong perubahan mindset para guru agar dapat meningkatkan kualitas mereka. "Kalau mengubah mindset guru, pejabat juga harus berubah mindsetnya. Supaya kesejahteraan guru bisa ditingkatkan," katanya.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga berharap pemerintah lebih meningkatkan kesejahteraan guru. Khususnya kualitas hidup para guru honorer dan swasta. Wakil Sekjen FSGI Fahriza Marta Tanjung menilai pemerintah belum sepenuhnya menerapkan ketetapan di UU mengenai Guru dan Dosen yang menyebutkan bahwa penghasilan guru harus sesuai dengan kebutuhan hidup minimumnya.
"Artinya, guru honorer dan swasta paling tidak penghasilannya sesuai dengan Upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten atau kota (UMK). Tapi kenyataannya tidak begitu," ungkap Fahriza secara terpisah.
Menurut dia, seharusnya pemerintah memiliki format tersendiri untuk mengatur gaji guru honorer dan swasta. Apalagi sekitar 50 persen guru di Indonesia merupakan guru honorer dan swasta.