REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Munawar Holil menyatakan, masih banyak manuskrip-manuskrip di Indonesia yang belum diterjemahkan, dialihbahasakan, dan dibuatkan cadangannya. Padahal sumber manuskrip itu dapat dijadikan sebagai sumber literasi nasional berdasarkan Undang-undang Pemajuan Budaya yang baru disahkan pada 2017.
"Indonesia itu memiliki adat, kesenian, budaya dan sumber daya yang luas. Dan seperti manuskrip atau naskah-naskah itu banyak yang belum diterjemahkan, dialihbahasakan. Makanya kami dorong untuk itu," kata Munawar di Jakarta pada Senin (11/12).
Melihat kenyataan demikian, para pemangku kebijakan dinilai harus semakin semangat untuk mencari, menyelamatkan, dan melestarikan warisan budaya dokumenter yang masih banyak yang terserak di beberapa wilayah perbatasan seperti Pulau Sumatra dan Pulau Kalimantan. Terlebih, lanjut Munawar, pemerintah memiliki semangat untuk terus melestarikan cagar budaya.
"Padahal kekayaan warisan budaya sebuah negara merupakan modal sebagai harkat dan martabat bangsa di mata dunia," tegas Munawar yang juga merupakan dosen pengajar bahasa dan sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya-Universitas Indonesia (FIB-UI).
Karena itu, menurut Munawar, masih banyak pekerjaan rumah untuk melestarikan warisan budaya tertulis Indonesia. Namun yang disayangkan, semangat masyarakat untuk melestarikannya masih minim.
Kenyataan itu berbanding terbalik dengan masyarakat dari Malaysia dan Brunei Darussalam, mereka tidak akan segan untuk membeli naskah sebagai bentuk untuk menaikkan gengsi.
"Sementara di sini kan, belum. Paling ya naskah-naskah dan manuskrip-manuskrip itu bisa dijadikan benda bernilai ekonomi bagi sebagian orang (yang menyimpan)," kata Munawar.
Untuk itu pemerintah diharap harus lebih proaktif dalam mengamankan dan menyelamatkan naskah-naskah yang masih berada di tangan masyarakat.