REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menginginkan Badan Standar Nasional Pendidikan dan Kemendikbud menjelaskan kepada publik mengenai temuan adanya sejumlah buku pelajaran kontroversial yang mencantumkan kota Yerusalem sebagai ibukota Israel.
"Mereka harus memberikan klarifikasi, bahkan merevisi isi buku-buku tersebut. Karena dua lembaga itulah yang memiliki otoritas meneliti isi buku-buku pelajaran sebelum didistribusikan," kata Abdul Fikri dalam rilis di Jakarta, Jumat (15/12).
Politisi PKS itu mengemukakan hal itu terkait dengan pemberitaan terkait adanya beberapa buku pelajaran yang menuliskan bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel. Dia mengingatkan bahwa sesuai dalam UU Sistem Perbukuan yang telah disahkan, di Pasal 69 Ayat 3 dijelaskan bahwa Kejaksaan RI harus terlibat dalam pengawasan.
"Terutama soal substansi buku yang telah beredar. Kalau tidak, akan meresahkan masyarakat," paparnya.
Dalam penelusurannya, ternyata buku yang memuat Yerusalem sebagai Ibukota Israel itu tidak hanya ditulis oleh satu nama, melainkan juga di beberapa buku lain dengan penulis berbeda juga memuat hal yang sama. Bahkan, file pdf buku tersebut masih bisa diunduh dari laman di internet.
Di sisi lain, penyebutan Yerusalem sebagai Ibukota Israel dalam buku pelajaran ini, bertentangan dengan sikap Presiden Jokowi yang mengecam keras pernyataan sepihak Presiden AS Donald Trump.
"Juga ahistoris, karena negara-negara nonblok yang inisiatornya adalah Presiden RI pertama saat itu, yaitu Soekarno, berkomitmen untuk memerdekakan negara yang hadir dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung," tuturnya.
Untuk itu, ujar dia, Kemendikbud agar bekerja sama dengan Kemenkominfo untuk harus serius melakukan pemblokiran situs-situs yang masih memuat penyesatan opini publik itu.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR Reni Marlinawati menilai materi buku ajar yang berisi informasi ibukota Israel adalah Yerusalem merupakan tindakan yang fatal dan ceroboh.
"Harusnya tidak sekadar merevisi materi buku ajar tersebut, namun menarik seluruh buku yang beredar di pasaran dengan mengganti buku baru hasil revisi," ungkap Reni.
Politisi PPP itu juga mendesak kepada aparat penegak hukum untuk menyelidiki proses produksi buku tersebut yang jelas-jelas telah meresahkan masyarakat dan bertentangan dengan spirit Pancasila dan UUD 1945. Dia menyatakan hal tersebut ironis karena peristiwa itu muncul setelah berlakunya UU No 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Pasal 69 UU No 3 Tahun 2017 secara jelas disebutkan mekanisme pengawasan terhadap sistem perbukuan yang melibatkan pemerintah pusat, pemda dan pelaku perbukuan.
"Dalam kasus ini, saya meminta pemerintah pusat termasuk pemerintah daerah untuk memberi perhatian secara serius terhadap penerbit tersebut. Bila perlu, seluruh cetakan dari penerbit tersebut untuk diaudit untuk mengantisipasi peristiwa sebelumnya terjadi lagi," tegasnya.