REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pendidikan Henry Alexis Rudolf Tilaar berpendapat Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) tidak tepat diterapkan untuk mengevaluasi kemampuan siswa dan pendidikan di Indonesia. Sebab, menurut dia, evaluasi yang digadangkan menjadi tujuan utama pada kenyataannya tidak pernah dilakukan.
"Pemetaan atau evaluasi itu tidak pernah saya lihat konkretnya seperti apa. Selama bertahun-tahun mutu pendidikan kita rendah, selalu tertinggal dengan negara lain," kata Henry kepada Republika, Ahad (14/1).
Kenyataannya, dia mengungkapkan, terjadi praktik kecurangan-kecurangan di lapangan seperti pembocoran soal, kongkalikong kunci jawaban dan kecurangan lain yang dilakukan oleh pejabat pendidikan setempat dan birokrasi. "Tengok saja ke lapangan, guru itu bekerja sama dengan birokrat untuk membohongi nilai-nilai siswanya. Kepala sekolah bisa jadi dipindahkan karena nilai ujian akhir siswa di sekolah itu kecil. Dan banyak macam praktik kebohongan yang terjadi," kata dia menjelaskan.
Karena itu, Henry mengaku tidak pernah sepakat dengan pelaksanaan USBN ataupun Ujian Nasional (UN). Dia menilai, pelaksanaan ujian tersebut sama sekali tidak memiliki faedah bagi siswa dan sistem pendidikan di Indonesia.
Bahkan, menurut dia, ujian tersebut hanya menjadi ajang untuk mengadili siswa. "Perlu kita rancang model baru, yang lebih bisa mengedepankan pengklasifikasian bakat minta siswa. Setiap anak telah dikaruniai bakat yang berbeda, seharusnya pemerintah berperan di sana," tegas Henry.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajdir Effendy menegaskan, ujian sekolah berbasis nasional (USBN) sekolah dasar (SD) tahun ajaran 2017/2018 akan mengujikan tiga mata pelajaran (mapel). Dengan demikian, gagasan untuk mengujikan delapan mapel pada USBN SD belum bisa diterapkan tahun ini.