REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut diplomasi sains yang bersifat lunak namun solutif belum tersentuh untuk kebijakan luar negeri Indonesia. Diplomasi sains dalam perubahan bangsa dan dunia memang tidak mudah dilakukan, tetapi penting untuk perubahan sains itu sendiri secara global.
Hal itu diungkapkan Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) Tri Nuke Pudjiastuti saat membuka workshop On Science Diplomacy di Jakarta, Senin (12/3).
Dalam tataran global ia mengatakan terdapat multy stress zone di wilayah Afrika, Asia, Amerika Selatan dan sebagian Eropa. Masalah air, demografi, pesisir, kelaparan bahkan konflik keamanan yang menjadi tantangan yang belum bisa diselesaikan meski sudah dibahas secara global oleh ilmuwan-ilmuwan dunia.
Diplomasi sains bukan hal baru, tapi belum dianggap menjadi penting untuk pengambilan keputusan dalam negara. Persoalan dunia yang belum terpecahkan salah satunya contoh konflik Laut Cina Selatan di mana Kementerian Luar Negeri sudah sejak tahun 70-an sudah melakukan secara diplomasi sangat halus sekali.
Ada dasar kuat yang memunculkan momentum pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan kebebasan ide diterima dalam diplomasi. Yang, menurut dia, menjadi penting di mana diplomasi sains yang merupakan diplomasi nonideologi dan kebebasan ide dapat diterapkan pada tataran tertentu dan menjadi pijakan pada kebijakan luar negeri.
Misal terkait isu nuklir AS dan Soviet, penjelasan iptek lebih mampu meredakan dan menyelesaikan konflik yang terjadi, ujar dia. "Ditambah lagi PM Inggris Gordon Brown mengeluarkan pernyataan yang mengintisarikan kebijakan internasional luar negeri suatu bangsa harus berdasar evidence base," ujarnya.
Posisi penting sains dengan kebebasan ide, lanjutnya, merupakan soft power yang cenderung persuasif berupa simbol, budaya, level masyarakat dan tidak ada kontrol pemerintah. Sehingga bisa main pada level public diplomacy hingga culture diplomacy.
Pelapor Khusus PBB Pelapor Wilayah Palestina Duta Besar RI untuk PBB Makarim Wibisono mengatakan seharusnya pejabat LIPI lebih awal masuk ke diplomasi luar negeri.
Diplomasi sains ini, lanjutnya, menjadi bentuk second track diplomacy yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan termasuk di dalamnya ilmuwan, NGO hingga wartawan, yang sejauh ini sangat manjur untuk menyukseskan diplomasi.