REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim saat ini, sebagian besar siswa masih berpikir pada tingkatan atau level rendah. Hal ini ditunjukkan melalui sejumlah survei pendidikan salah satunya adalah Programme for International Student Assessment (PISA).
Satriwan menjelaskan tingkatan keterampilan berpikir dalam dunia pendidikan dikenal istilah C-1 (mengingat), C-2 (memahami), C-3 (menerapkan), C-4 (menganalisis), C-5 (menilai/mengevaluasi) dan C-6 (mencipta/kreasi). Untuk keterampilan berpikir C-1 sampai dengan C-3 disebut "keterampilan berpikir tingkat rendah" sedangkan C-4 sampai C-6 disebut "keterampilan berpikir tingkat tinggi".
“Faktanya, kondisi saat ini para siswa kita masih berpikir di level tingkat rendah," kata dia di Jakarta, Ahad (15/4).
Kendati demikian, dia mengatakan, keterampilan berpikir yang membutuhkan daya nalar tinggi atau high order thinking skills (HOTS) bukan hanya pada saat ujian. Keterampilan berpikir tinggi juga harus dilakukan pada proses pembelajaran.
"Keterampilan berpikir HOTS tersebut mestinya bukan dititikberatkan pada akhir pembelajaran siswa atau pada ujian tetapi ditunjukkan ke dalam proses pembelajaran selama tiga tahun itu," ujar Satriwan.
Jika ingin para siswa berpikir pada level HOTS, guru harus menampilkan proses pembelajaran yang HOTS pula di dalam kelas (sekolah). Menurut dia, percuma saja soal-soal ujiannya di level tinggi, tetapi proses pembelajaran siswa tidak pernah menyentuh kemampuan berpikir kritis, evaluatif dan kreatif.
Pengurus Serikat Guru Indonesia Slamet Maryanto mengatakan fakta di ruang-ruang kelas selama ini, ketika menjelang UN, para guru dan siswa hanya fokus melatih soal-soal UN tahun-tahun sebelumnya. “Uji coba beberapa kali yang diselenggarakan sekolah dan dinas pendidikan setempat, siswa dilatih untuk mampu menjawab soal-soal secara cepat-tepat," kata dia.
FSGI merekomendasikan agar adanya pelatihan secara intensif dan berkelanjutan terkait pembelajaran berpikir kritis. Kemudian dilakukannya, pelatihan pembuatan soal cerita HOTS dan soal-soal di UN secara bertahap mesti mengurangi soal yang menggunakan daya nalar rendah.