REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Soal-soal UN SMA dengan pendekatan high order thinking skills (HOTS) yang dikeluhkan siswa, bisa jadi karena salah pemahaman siswa dan guru. Dengan tujuan yang baik, maka penerapan pendekatan HOTS dinilai tidak bisa terburu-buru.
Pengamat pendidikan Universitas Multimedia Nusantara Doni Koesoema A menjelaskan, sebenarnya HOTS sudah dua tahun lalu. Sejak itu, pemerintah mengeluarkan kisi-kisi terbuka, tidak seperti tiga tahun sebelumnya dimana kisi-kisi sudah mengarah pada indikator soal. Sehingga, saat itu, anak-anak hanya belajar kisi-kisi yang mengarah pada indikator soal. Sementara, bimbingan belajar sangat lihai dan mengajarkan soal yang itu-itu saja.
Menurutnya, kisi-kisi tidak jauh dengan kompetensi sehingga sudah pasti pernah diajarkan. Hanya saja cara membuat pertanyaannya diubah sehingga anak-anak tidak hanya belajar rumus, tapi analisis dan konteks. "Itu yang mereka rasa sulit," kata Doni melalui telepon pada Ahad (15/4).
Mungkin juga, guru-guru masih menganggap kisi-kisi sebagai indikator soal sehingga mengajarkan satu model soal saja. Padahal, kisi-kisi terbuka bisa punya banyak model soal.
Dikatakan Doni, pemerintah sudah melatih banyak guru dalam bimbingan teknis (bimtek) HOTS. Tapi, sekolah di Indonesia banyak. Pelatihan dari pemerintah belum bisa menjangkau semua guru. Maka, perlu ada peningkatan dan perbaikan. "Mengeluh tidak akan mengubah masalah," ucap Doni.
Menurut Doni, soal-soal yang dibuat, pasti sudah sesuai kompetensi lulusan. Itupun hanya 10 persen dari jumlah soal. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Itupun untuk semua mata pelajaran, tidak hanya matematika. "Soal-soal HOTS itu perlu untuk perbaikan kualitas. Jadi harus mulai dibiasakan," ungkap dia.
Menyinggung seberapa cepat pendekatan pendidikan saat ini bisa bermigrasi ke HOTS, Doni mengakui, butuh waktu panjang bagi Indonesia. Ada 60 juta siswa dengan ribuan sekolah. Dengan daya yang ada, pemerintan menggelar bimtek dan itu ada dalam bimtek Kurikulum 2013.
Pemerintah punya tanggung jawab untuk mengembangkan keterampilan guru. Pengetahuan kepala sekolah juga perlu ditingkatkan. Sehingga, kepala sekolah bisa mengecek guru sudah bisa menerapkan HOTS dan belum dan dibantu supervisi pengawas.
Apalagi, dari tujuh juta guru, hanya 50 persen yang layak mengajar di kelas. Menurutnya, saranadan prasarana tidak masalah selama gurunya mumpuni. "Itu berat. Pemerintah harus berusaha, memang harus pelan-pelan dan tetap mengintervensi guru yang kemampuannya masih di bawah rata-rata," kata Doni.
Kalau anak-anak mengeluhkan soal UN berbeda dengan soal try out (TO), itu karena TO adalah untuk menyeleksi soal. Kalau TO bisa dikerjakan, soal-soalnya tidak akan lagi dikeluarkan saat UN. "Maka, aneh kalau ada yang bilang soal TO dan ujian beda, karena ya memang beda," kata Doni.