REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Meski industri perbukuan menunjukkan gelajala migrasi digitalisasi bentuk dan konten, buku fisik di Indonesia masih menarik. Sebab, selain manfaat fungsional, buku juga memberi ikatan emosi dan jadi barang koleksi.
Novelis Azhar Azhar Ala mengatakan, bila bicara industri, pertimbangan penerbit buku adalah profit. Kalau suatu buku masih terbit, penerbit masih melihat potensi keuntungan sebab buku tersebut dicari orang.
''Mengapa orang-orang Indonesia masih mau beli buku? Ini yang menarik. Buku tidak cuma punya nilai fungsional, tapi juga emosional terutama non fiksi. Kalau fiksi, bukunya jadi aset koleksi,'' ungkap Azhar dalam Youngsters' Talk yang digelar Bogor Excellent Community di Bogor pada Sabtu (22/4).
Itu juga terjadi pada buku Azhar. Salah satu bukunya yang berjudul Jatuh merupakan kumpulan tulisan Azhar di blog sejak 2013. Buku itu masih dicari pembaca karena Azhar melihat ada ikatan emosional dan kecenderungan jadi koleksi pembaca buku-bukunya. ''Bagi penulis, cetak buku adalah konversi mengubah ikatan emosional jadi pendapatan,'' ungkap penulis buku Tuhan Maha Romantis itu.
Tren tutupnya toko buku dan digitalisask buku di AS menjalar hingga ke Indonesia. Toko buku seperti Aksara, Gunung Agung dan Gramedia mulai menutup atau menata ulang komposisi tawaran produk buku dan non buku di jaringan mereka. Indonesia tengah menjalani senjakala toko buku. Bagi sebagian penulis, itu jadi kabar gembira.
Sudah banyak diketahui kalau 60-65 pendapatan penjulan buku akan masuk ke kantung distributor dan toko buku. Sisanya untuk penulis dan penerbit. Dengan usaha dan riset, penulis hanya mendapat 10 persen dari royalti, itupun masih harus dikenai pajak.
Saat masuk fase buku elektronik (buku-el), penulis akan diuntungkan karena lebih efisien. Tak heran, tren publikasi buku dan pemasaran secara mandiri di kalangan penulis terus tumbuh.